Thursday, December 22, 2011

AKHLAK DALAM THOLABUL ILMI



PENDAHULUAN


Kebutuhan hati dan akal kita terhadap ilmu seperti kebutuhan badan kita terhadap gizi dan makanan, bahkan lebih dari itu. Pasalnya setiap aktifitas yang kita lakukan harus berdasarkan pada ilmu. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad rohimahullah : “kebutuhan manusia akan ilmu itu lebih dari kebutuhan mereka terhadap makanan atau minuman, sebab kebutuhan pada keduanya sehari cukup satu sampai dua kali sedang kebutuhannya akan ilmu sejumlah bilangan keluar masuk nafasnya”.
Terutama terhadapa ilmu syar’ie, yang mana hati manusia akan menjadi kering, gersang dan bahkan mati jika tidak pernah mendapatkan konsumsi ilmu tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman di dalam al qur’an surat al an’am : 102
“ Dan apakah orang yang sudah mati (hatinya) kemudian kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya itu ia dapat berjalam di tengah-terngah manusia serupa dengan orang-orang yang  keadaanya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang kafir memandang baik apa yang mereka kerjakan”.
Karena begitu urgen dan vitalnya esensi ilmu tersebut (terutama ilmu syar’ie), maka untuk mendapatkannya tidaklah dengan mudah, karena tujuan dari ilmu tersebut tidaklah sebatas untuk dikonsumsi dan ditrasfer oleh otak kita saja, akan tetapi juga oleh hati. Ilmu ini juga akan membuahkan amal dalam kehidupan riel / nyata, sebagaimana generasi para sahabat yang mereka dapat mengaplikasikan esensi dan kandungan dalam al qur’an sehingga mereka berpredikatkan sebagai al qur’an yang berjalan.
Maka seorang tholibul ilmi untuk mendapatkan ilmu tersebut harus memenuhi etika dan adab-adabnya sebagaimana para salaf telah memberikan tauladan yang baik bagi kita.
Ikhwanifillah, berkenaan dengan masalah adab dalam tholabul ilmi pada hari ini kita dihadapkan pada sesuatu dilema di dalamnya, pasalnya di satu pihak ada orang yang begitu cuek dengan masalah ini atau mereka tidak begitu memperhatikan dengan masalah ini seperti terjadi pada pondok-pondok yang notabene disebut sebagai pondok madern ataukah permasalahan dalam tholabul ilmi itu seperti yang kita saksikan pada kebanyakan pondok-pondok yang berbau sufiisme yang notabene mereka mengaku sebagai pondok salafy. Yang mereka begitu menjunjung adab dalam thalabulilmi, mereka menempatkan syekhnya pada manzilah yang sangat istimewa yang tidak ada yang dapat membantah perkataannya itu semua mereka tujukan untuk menghormati syekh mereka padahal apa-apa yang mereka lakukan sarat dengan kebid’ahan dan kesyirikan.
Ikhwnifllah, karena pelik dan pentingnya permasalahan tersebut dalam kehidupan bertholabul ilmi kita maka pada moment ini kami ingin sedikit memaparkan tentang permasalahan tersebut yang kami beri judul “BAGAIMANA AKHLAQ DALAM BERTHOLABUL ILMU” dan untuk lebih jelasnya maka disini kami susun beberapa etape pembahasan yang akan kita paparkan dalam pembahasan ini :
1.      Keutamaan ilmu, mencari dan mengajarkannya.
2.      Hal-hal yang berkaitan dengan ilmu.
       Macam-macam ilmu.
       Beramal dengan ilmu.
       Sarana mendapatkan ilmu.
       Sifat-sifat ulama’.
v  ulama’syu’.
v  ulama’ akherat.
3.      Diantara potret orang yang ghulu dalam mengaplikasikan adap dalam tholabul ilmi.
4.      Diantara adab-adab yang dicontohkan para salaf.
5.      Adab seorang mualim
a.       Adab terhadap diri sendiri.
b.      Adab dalam mengajar.
6.      Adab seorang muta’alim
-          Adab terhadap diri sendiri.
-          Adab terhadap mu’alim.
-          Adab dalam majlis.
7.      Diantara potret akhlaq salaf dalam tholabul ilmi.
8.      Penutup.

Itulah kiranya beberapa etape pembahasan yang akan kami ketengahkan pada pembahasan kali ini.

MACAM-MACAM ILMU
Ibnu Taimiyah rohimahullah membagi ilmu yang bermanfaat menjadi dasar hikam dan merupakan salah satu bidang penyanggahnya, menjadi tiga bagian. Beliau berkata :” ilmu yang terpuji telah disebutkan oleh al kitab dan as sunah ialah ilmu yang diwariskan para nabi “ yang demikian itu sesuai dengan sabda Rasulullah ShallAllahu 'Alaihi Wasallam :
إن الأنبياء لم يرثوادرهما وإنما ورثوا العلم فمن أخذه بحظ وافر
Artinya : sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dirham atau dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu, barang siapa yang telah mendapatkan ilmu tersebut berarti dia telah mendapatkan bagian yang banyak dari harta warisan peninggalan para nabi”[1]
Dan ilmu yang diwariskan para nabi itu ada tiga macam:
1.      ilmu tentang Allah, asma’ dan sifat-Nya serta hal-hal yang berhubungan dengannya, sebagai contoh : Allah ta’alla menurunkan surat al ikhlas dan ayat kursi serta ayat-ayat yang lain.
2.      Ilmu tentang apa-apa yag telah dikabarkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengenai perkara-perkara yang telah lalu dan yang akan datang, juga apa-apa yang bakal terjadi dimasa mendatang. Sebagai contoh dari ilmu ini Allah Ta’ala menurukan ayat-ayat yang berisikan cerita-cerita (al qoshos), janji, ancaman, sifat surga dan neraka dan lain sebagainya.
3.      ilmu tentang perintah Allah ta’ala, termasuk di dalamnya ilmu yang berkaitan hati dan jawarih, yaitu iman kepada Allah Ta’ala, mengetahui hakekat hati, dan keadaannya. Serta keadaan organ tubuh, ucapan dan perbuatanya, masuk dalam kategori ilmu ini ilmu tentang dasar-dasar iman dan Islam, ilmu tentag aqwal (ucapan) dan af’al (perbuatan) yng dlohir, dan ilmu yang mencakup dalam kitab-kitab fiqh yaitu ilmu tentang hukum perbuatan dhohir, ilmu-ilmu ini adalah seperempat dari ilmu dien.

BERAMAL DENGAN ILMU

 Suatu ilmu harus disertai dengan kemantapan hati, dan pengetahuan tentang apa  yang menjadi tuntutanya. Kesempurnaan ilmu ada ketika tuntutannya sudah dipenuhi dan diamalkan. Ilmu tidak diamalkan kelak dihari kiamat akan menjadi penghujat atas pemiliknya. Oleh karena itu Allah memperingatkan kaum muslimin agar tidak mengatakan sesuatu yang tidak dilakukanya, sebagai tanda rahmat-Nya kepada mereka dan keutamaan-Nya serta  kebaikan-Nya terhadap mereka. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
ياأيها الذين امنوا لما تقولون مالا تفعلون كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan ? amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. ( Q.S As Shof : 2-3 )
Begitu juga Allah melarang mereka menyembunyikan ilmu (kitmanul ilmi) dan sebaliknya Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyuruh mereka agar menyampaikan ilmu dan menyebarkannya kepada manusia sesuai daya dan kemampuan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta'ala berikan kepada mereka. Sesungguhnya Allah tidak membebani satu jiwa pun kecuali sesuai dengan kemampuanya. Allah berfirman :
إن الذين يكتمون ما أنزلنا من البينات و الهدى من بعد ما بينّه للناس في الكتاب أولئك الذين يلعنهم الله ويلعنهم اللاعنون
Artinya : Sesunggunya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan ( yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menurunkanya kepada manusia dalam al kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat pula oleh semua makhluk yang dapat melaknat. ( al baqoroh : 159 )
Barang siapa yang menyembunyikan ilmunya dan mengumpulkan dua kerusakan : menyembunyikan apa-apa yang diturunkan Allah ta’ala dan dilaknat semua makluk yang bisa melaknat, karena usahanya menipu makhluk, merusak agama mereka dan menjauhkan mereka dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala . orang seperti ini diganjar sesuai dengan amal yang dilakukan, sebagaimana orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia, maka setiap sesuatu hingga ikan yang ada didalam air burung-burung yang terbang di udara memohonkan ampun untuknya, karena usahanya menebarkan kemaslahatan kepada hamba dan memperbaiki agama mereka dan karena dia telah mendekatkan mereka kepada rohmat Allah ta’ala, maka dia dibalas sesuai dengan jenis amalnya.[2]
Demikian juga Rosulullah ShallAllahu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan : barang siapa yang ditanya tentang ilmu yang diketahuinya, kemudian ia menyembunyikannya maka kelak pada hari kiamat akan dikalungkan pada lehernya yang terbuat dari api neraka.[3]
Ilmu yang bermanfaat tidak akan bisa terwujud kecuali jika disertai dengan amal. Sufyan bin uyainah mengatakan : manusia yang paling bodoh ialah yang meninggalkan sesuatu yang diketahuinya (tidak mengamalkan ilmunya) dan manusia yang palingh cerdik ialah : yang mengamalkan sesuatu yang diketahuinya dan manusia yang paling utama yang paling tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.[4]
Abdullah bin mas’ud RadliyAllahuanhu berkata : belajarlah, jika kalian sudah berilmu maka amalkanlah. Beliau juga berkata : pada dasarnya manusia itu baik perkataannya. Barang siapa yang perbuatannya sesuai dengan perkataannya maka telah beruntunglah nasibnya, dan barang siapa perbuatannya bertentangan dengan perkataannya sesungguhnya dia telah menghinakan dirinya sendiri. Ali bin Abi tholib RadliyAllahuanhu juga mengatakan hai para pembawa ilmu amalkanlah ilmu yang kalian bawa, sesungguhnya orang alim ialah yang memiliki ilmu kemudian mengamalkannya, dan ilmunya sesuai dengan amalanya. Kelak akan datang beberapa kaum yang membawa ilmu, tetapi ilmunyatidak bisa melewati kerongkonganya, amal batinnya bertentangan dengan amal dhohirnya, dan amalnya bertentangan dengan ilmunya, mereka mengadakan halaqoh-halaqoh tetapi sebagian atas sebagian yang lain saling membanggakan diri, hingga ada seorang yang marah terhadap temen majlisnya, kemudian meninggalkan majlisnya dan berpindah kemajlis lain. Mereka itulah orang – orang yang amal majlisnyatidak bisa naik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.[5]
Abu darda’ RadliyAllahuanhu : “ kamu tidak akan menjadi orang ayng bertaqwa hingga kamu berilmu dan kamu tidak bisa menjadi baik hingga kamu mengamalkan ilmumu.
Maka jelaslah bawa ilmu tidak akan menjadi tiang penyanggah hikamh kecuali jika diiringi dengan amal, sebagaimana yang telah dicontohkan para salafus sholih terutama para sahabat Nabi ShalAllahu Alaihi Wasallam selalu diiringi dan dibuktikan dengan amal, oleh karenanya ucapan, perbuatan dan seluruh tingkah laku mereka penuh dengan hikmah. Rasulullah ShalAllahu Alaihi Wasallam bersabda : “ tidak ada sifat hasad kecuali dalam dua perkara : seorang laki-laki yang dekaruniai harta kemudian dihabiskan dalam kebenaran dan seorang yang dikaruniai hikmah kemudian menghukumi dengannya dan mengajarkan kepada yang lainnya.[6]

SARANA MENDAPATKAN ILMU

Ilmu yang bermanfaat banyak memiliki factor penunjang untuk meraihnya, dan sarana yang bisa ditempuh untuk mendapatkannya. Diantara saranayang utama ialah :
1.      Hendaklah senantiasa berdo’a  kepada Allah Ta’ala agar diakaruniai ilmu yang bermanfaat, memohon pertolongan-Nya dan selalu membutuhkan-Nya. Sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya :
2.      Ijtihad (bersungguh-sungguh ) dalam mencari ilmu, senantiasa rindu terhadapnya, dan memiliki kecintaan (rughbah) dan mengerahkan semua sarana dalam mencari ilmu tentang Al Kitab dan As Sunnah.[7]
Karena inilah imam syafi’ie berkata : Hai saudarakau, kamu tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara, yang akan aku jelaskan perincianya sebagai berikut : Pertama adalah Dzaka’ (kepandaian), kedua rakus terhadapnya, ketiga ijtihad (bersungguh-sungguh), keempat adalah biaya, kelima bergaul dengan guru dan keenam adalah panjang masanya.
3.      Menjauhi segala bentuk kemaksiatan dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. ini adalah sarana untuk mendapatkan ilmu. Sebagai mana firman-Nya :

Artinya : Dan bertakwalah kepada Allah, Allah akan mengajarimu dan Allah mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al Baqoroh : 282 )
Dan firman-Nya pula :
Artinya: Hai orang-orang ayng beriman jika kamu bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengaruniai ilmu yang dapat membedakan antara yang haq dan batil.(Q.S. ali Imron :  )
Dan karena itulah Abdullah bin Mas’ud RadliyAllahuanhu berkata:
“ Aku berani mengatakan bahwa orang akan begitu mudah melupakan ilmu yan telah diketahui (dimilikinya) hanya karena dosa  yang telah dikerjakannya”.[8]
Imam As Syafi’ie berkata :
“ Aku mengadukan kepada Waqi’ tentang buruknya hafalanku, lalu beliau memberiku petunjuk supaya aku meninggalkan maksiat. Beliau menggambarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya (nuur) dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.[9]
4. membuang sifat sombong dan malu dalam mencari ilmu.

Aisyah RadliyAllahuanha berkata : sebaik-baik wanita adalah wanita anshor, sifat malu tidak menghalangi mereka dalam belajar dan mendalami agama.[10]
Imam Mujahid berkata : orang yang pemalu dan yang sombong tidak akan bisa belajar ilmu.
5. ikhlas karena Allah set dalam mencari ilmu dan beramal dengannya. Rosulullah ShalAllahu Alaihi Wasallam bersabda : Barang siapa yang belajar ilmu ( yang bisa dijadikan sebagai jalan mencari ridlo Allah ) dia tidak mempelajarinya kecuali hanya untuk mendapatkan bagian kedudukan di dunia maka kelak di hari qiamat dia tidak bisa mencium baunya surga”.[11] jadi ilmu harus disertai dengan amal ikhlas dan mutaba’ah.
SIFAT ULAMA’ SHU’ DAN ULAMA’ AKHIRAT
 Ulama’ su’ (yang buruk) adalah ulama’ yang dengan ilmunya ingin mendapatkan kenikmatan di dunia dan mendapatkan kedudukan terpandang di kelompoknya. Abu Huroiroh RadliyAllahuanhu meriwayatkan dari Nabi ShalAllahu Alaihi Wasallam beliau bersabda :
من تعلّم علما ممّا يبتغي به وجه الله عزّ وجلّ لا يتعلّمه إلاّ ليصيب به  عرضا من الدنيا لم يجد عرق الجنة يوم القيامة. رواه أبو داود وابن ماجه وابن حبان
Artinya : barang siapa mempelajari suatu ilmu, yang dengan ilmu itu semestinya dia mencari wajah Allah, dia tidak mempelajarinya melankan untuk mendapatkan kekayaan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari qiamat. (diriwayatkan abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban )

Artinya : barang siapa mempelajari ilmu untuk membanggakan diri dihadapan ulama’ atau mendebat orang – orang bodoh, atau mengalihkan pandangan manusia kepada dirinya maka dia berada di neraka. ( diriwayatkan oleh At Tirmidzi )
Diantara sifat-sifat para ulama’ akherat adalah mereka mengetahui bahwa dunia ini hina sedangkan akherat adalah mulia, keduanya seperti dua macam kebutuhan pokok, namun mereka lebih mementingkan akherat. Perbuatan mereka tidak bertentangan dengan perkataan, kecenderungan mereka tidak bertentangan dengan perkataan.
Diantara sifat-sifat ulama akherat adalah : mereka membatasi diri untuk tidak terlalu dekat dengan para penguasa dan bersikap waspada jika bergaul dengan mereka.
Hudzaifah RadliyAllahuanhu pernah perkata : jauhilah beberapa sumber cobaan. Ada yang bertanya apa itu ? dia menjawab : Pintu-pintu penguasa. Salah seorang diantara kalian memasuki tempat tinggal seorang penguasa lalu dia membenarkan dirinya dengan cara dusta dan mengatakan apa yang tidak seharusnya dikatakan”.
Sa’id bin Al Musayyaf rohimahullah berkata : apabila kalian melihat seorang ulama’ mendatangi para penguasa, maka ia adalah pencuri.
Diantara orang salaf berkata  : sesungguhnya engkau tidak mengusik keduniaan mereka sedikitpun, melainkan mereka akan mengusik agamamu dengan  takaran yang lebih banyak lagi.
Diantara sifat-sifat mereka juga tidak cepat-cepat mengeluarkan fatwa dan tidak mengeluarkan fatwa kecuali setelah yaqin akan kebenarannya dan mereka biasa meneliti kembali fatwanya hingga kembali lagi kebagian awal.
Abdurrahman bin Abu laila rohimahullah berkata : didalam masjid ini aku pernah bertemu dengan seratus lima puluh para sahabat mereka ditanya tentang suatu hadits atau fatwa, melainkan dia juga menanyakannya kepada yang lainnya hingga merasa yaqin akan kebenarannya. Kemudian pada zaman sekarang muncul orang-orang yang mengaku sebagai ulama’, yang begitu mudah mengeluarkan jawaban mengenai berbagai masalah, yang seandainya masalah-masalah itu disodorkan kepada Umar bin Khotob tentu dia akan mengumpukan orang-orang yang pernah ikut dalam perang badar dan meminta pendapat mereka.
Diantara sifat ulama’ akherat juga ialah : mereka lebih banyak mengkaji ilmu tentang amal, yang berkaitan dengan hal-hal yang membuat amal-amal itu menjadi rusak, mengeruhkan hati dan menimbulkan kegoncangan. Sebab gambaran amal-amal itu dekat dan mudah, tetapi yang sulit adalah membuatnya bersih, sementara dasar agama adalah menjaga diri dari keburukan. Bagaimana mungkin seorang dapat menjaga amal jika dia tidak tahu apa yang harus dijaganya ?
Diantara sifat-sifat yang lain ialah : mengkaji rahasia- rahasia amal syar’iyah dan mengamati hokum-hukumnya, dan sifat-sifat mereka yang lain adalah mengikuti para sahabat dan para tabi’ien yang pilihan serta menjaga diri dari hal-hal yang baru.
ADAB SEORANG MUALIM

I.       ADAB TERHADAP DIRINYA SENDIRI
1.                                                            Meniatkan hanya untuk mencari ridho Allah semata.
2.            tidak memaksudkan amalannya untuk mencari tujuan dunia, seperti untuk mencari harta, pangkat, ketenaran dan lain sebagainya.
3.            berakhlak mulia yang sesuai dengan syar’ie dan dianjurkan olehnya. Seperti zuhud, sabar, santun, waro’, khusu’, sakinah, sopan, tawadlu’, rendah hati, menjauhi tawa dan banyak bergurau.
4.            selalu menggunakan adab dengan adab-adab syar’ie baik yang nampak atau tersembunyi. Seperti ; membersihkan kotoran, menjaga sunnah-sunnah fitrah, diantarannya ;  mencabut bulu ketiak, mencukur kumis, memanjangkan jenggot, mencukur bulu kemaluan, menghilangkan dan menjauhi bau-bau yang tidak sedap dan lain sebagainya.
5.            berhati-hati dari penyakit-penyakit hati seperti ; hasad, iri, dengki, ujub (sombong), merendahkan manusia yang derajatnya berada di bawahnya.


II.                ADAB DALAM MENGAJAR.
1.            Meniatkan pekerjaan tersebut hanya untuk mencari ridho Allah.
2.            Tidak menjadikannya sebagai wasilah untuk mencari dunia.
3.            seorang mualim hendaknya selalu menghadirkan di dalam pikirannya bahwa apa yang ia lakukan adalah ibadah kepada Allah, sehingga dengan itu ia dapat selalu memotivasi dirinya untuk selalu meniatkannya hanya untuk mencari ridho Allah.
4.            Seorang mualim hendaknya selalu mengajarkan kepada para muta’alimnya untuk berakhlak yang mulia seperti; ikhlas, jujur, berniat yang baik dalam setiap perkataan dan perbuatannya, selalu bermuroqobah kepada Allah dalam setiap keadaan sampai ajal tiba.
5.            Menghabarkan kepada mereka bahwa dengan hal itu maka pintu pengetahuan akan terbuka baginya, lapang dadanya, akan memancar dari dalam hatinya pancaran hikmah serta akan memberikan barokah bagi diri dan ilmunya.
6.            seorang mualim hendaknya perhatian dengan urusan muta’alimnya, sebagaimana perhatiaannya kepada diri dan anak-anaknya sendiri, seakan ia adalah bapak bagi mereka.
7.            Seorang mualim hendakanya bersabar atas jeleknya perangai dan kurangnya adab para muta’alimnya, memaafkan ketika mereka menampakkan akhlak-akhlak tersebut. Karena manusia tidak luput dari salah dan alpa serta penuh kekurangan.
8.            Seorang mualim hendaknya mencintai dan menyayangi para muta’alimnya seperti cintanya pada diri sendiri karena kebaikan yang mereka lakukan dan membenci mereka karena dosa yang mereka lakukan.
9.            Seorang mualim hendaknya tidak sombong dihadapan para muta’alimnya, tetapi hendaknya ia bertawadlu’ dan berlemah lembut,   karena Allah berfirman :                                       واحفض جناحك للمؤمنين
Dan sabda Rosulullah dari sahabat Iyad bin Himar beliau bersabda :
 إن الله أوحى إلي أن توضعوا – رواه مسلم
artinya ; bahwasanya Allah mewahyukan kepadaku supaya kalian bertawadlu’.
dan dari Abu Huroiroh bahwa Rosulullah bersabda :
ما نقصت صدقة من مال وماز اد الله عبد بعفو إلا عزا وما تواضع أحد لله إلا رفعه الله
Artinya : tidaklah berkurang harta itu karena shodaqoh, tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba yan memberi pemaafan kecuali Allah menambah kemuliaan baginya dan tidaklah seseorang bertawadlu’ karena Allah kecuali Allah akan mengangkatnya.
ini adalah tawadlu’ untuk semua manusia, sedang bagaimana untuk mereka yang seperti anak-anaknaya sendiri yaitu para muta’alim ? Rosulullah bersabda : لينوا لمن تعلّمون ولمن تتعلمون منه
artinya : berlemah lembutlah kalian terhadap orang yang engkau belajar darinya dan kepada orang yang belajar kepada kalian.
Fudhail bin Iyad berkata : sesungguhnya Allah azzawajalla itu mencintai seorang alim yang bertawadlu’ dan murka kepada seorang alim yang lalim. Barang siapa bertawadlu’ kepada Allah, maka Allah akan mewariskan hikmah kepadanya.
10.        Seorang mualim hendaknya penuh semangat dan pehatian di saat mengajar para muta’alimnya, Ia lebih mendahulukan urusan mereka dari pada kebutuhan pribadinya jika hal itu tidak membawa madlorot, menyambut kedatangan para muta’alimnya, menampakkan kepada mereka kegembiraan dan muka yang berseri-seri.
11.        Seorang mualim hendaknya bersabar dan berlapang dada dalam memahamkan dan mentransver ilmunya kepada para muta’alimnya, sesuai dengan kadar kemampuan mereka masing-masing.
12.        Seorang mualim hendaknya selalu menasehati para muta’alimnya untuk selalu mengisi dan menyibukkan waktunya dengan ilmu dan mengulang hafalan-hafalan mereka.
13.        seorang mualim hendaknya dalam keadaan suci ketika mengajar, duduk menghadap qiblat , duduk dengan tabaru’ jika ia suka, duduk dengan hormat, menggunakan pakaian yang putih bersih dan tidak menggunakan pakaian yang mewah dan menonjol, tidak membatasi dirinya untuk selalu berakhlak mulia sehingga akan mencerminkan bahwa ia adalah orang yang sedikit muru’ahnya tapi hendaknya sebaliknya selalu berhias dengan akhlak yang mulia, serta hendaknya memuliakan orang yang lebih utama baik ilmu, umur dan kemuliaan.
14.        Seorang mualim hendaknya menjaga tangan, mata, dari hal yang tidak bermanfaat, memandang kepada para hadirin dengan pandangan yang baik. Duduk di tempat yang dapat di lihat oleh para hadirin hadirin yang ada ( para muta’alim ).
15.        seorang mualim hendaknya memulai materi yang akan ia sampaikan dengan bacaan al qur’an, membaca basmalah, tahmid dan berdo’a kepada Allah, membaca sholawat kepada Rosulullah ShollAllahu'alaihi wa sallam, keluarga, sahabat dan segenap kaum muslimin, kemudian mendoakan para ulama’ yang terdahulu, para mualimnya, orang tua, kepada para hadirin dan semua kaum muslimin kemudian berkata :      
16.        حسبنا الله ونعم الوكيل ولا حولا ولا قوة إلا بالله العلي العظيم. اللهم إني أعوذ بك من أن أضلّ أو أزل أو أظلم أو أجهل أو يجهل علي
17.        Seorang mualim hendaknya memulai materi yang akan ia sampaikan dengan materi yang paling utama. Seperti dengan tafsir kemudian hadits, usul, madzhab, ikhtilaf kemudian jidal. Dan lain sebagainya.
18.        seorang mualim hendaknya dapat mengatur suaranya, tidak mengangkat suaranya dengan berlebih-lebihan ataupun merendahkanya sehingga tidak terdengar oleh para muta’alim ataupun para hadirin yang ada. Hendaknya juga dapat mengatur dan menjaga majlis dari keributan ( kegaduhan ), menjaga akhlak para hadirin ketika dalam majlis, jika nampak hal yang kurang baik dari para hadirin atau para muta’alim segera menegurnya sebelum menyebar kepada yang lainnya serta mengingatkan mereka bahwa tujuan dari majlisnya ini adalah hanya untuk mencari ridlo Allah semata.
19.        seorang mualim ketika ditanya hendaknya ia tidak menghinakan atau merendahkan si penanya, apabila ia ditanya tentang suatu masalah kemudian ia tidak mengetahuinya maka hendaknya ia berkata :  أنا لا أعرف  ( saya tidak tahu ). Karena dari ilmunya seorang alim adalah jika ia tidak mengetahui ia berkata saya tidak tahu atau   والله أعلم  .  ibnu mas’ud berkata :      يأيها الناس من علم شيأ فليقل به ومن لم يعلم فليقل الله أعلم فإن من العلم أن يقول لما لا يعلم الله أعلم.  Artinya : Wahai manusia, barang siapa mengetaui sesuatu hendaknya ia mengatakannya, dan barang siapa tidak mengetahui hendaknya berkata   الله أعلم , karena dari sebagian ilmu berkata bagi sesuatu yang tidak ia ketahui  الله أعلم  .
sesungguhnya perkataan seorang alim لا أدري  “ saya tidak tahu “ itu tidak akan menjatuhkan kedudukannya atau pamor dirinya, tapi itu adalah tanda atau dalil kebesaran dan ketaqwaannya serta kesempurnaan akan pengetahuannya. Rosulullah bersabda :  المتشبع بما لا يعطى كلا بس ثوبي زور   artinya : orang yang kenyang dengan sesuatu yang tidak di berikan kepadanya seperti orang yang memakai pakaian palsu.




ADAB SEORANG MUTA’ALIM
I.             ADAB TERHADAP DIRI SENDIRI
Adab seorang muta’alim terhadap dirinya sendiri seperti adab seorang mualim terhadap dirinya yaitu :
1.            Hendaknya ia membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran penyakit hati supaya ia mudah untuk mendapatkan ilmu, menghafal dan membuahkannya.
2.            hendaknya seorang muta’alim memutuskan segala hal yang menghalanginya untuk bersungguh-sungguh dalam bertholabul ilmi. Bersabar atas kesempitan dunia yang ia hadapi. Imam Asy Syafi’ie berkata : tidak mendapatkan ilmu kecuali dengan bersabar atas kerendahan.
3.            Hendaknya seorang muta’alim bertawadlu’ terhadap ilmu dan mualimnya, maka dengan bertawadlu’ ia akan mendapatkan ilmunya. Perintah bertawadlu’ adalah mutlaq maka pada hal ini adalah lebih tepat.
4.            Tholabul ilmi adalah ibadah, seorang salaf berkata : ilmu itu adalah sholat yang tersembunyi dan ibadahnya hati. Maka hendaknya seorang muta’alim memperhatikan syarat-syarat ibadah seperti ikhlas dan lain sebagainya.
5.            Mengikuti manhaj salaf sholeh dari para sahabat, tabi’ien, dan orang-orang sholeh setelah mereka.
6.            seorang muta’alim hendaknya selalu takut kepada Allah Ta'ala baik dalam keadaan dlohir atau batin, menjaga syi’ar-syi’ar Islam, menampakkan sunnah Rosulullah dan menyebarkanya dengan amal dan da’wah. Allah berfirman :  إنما يخشى الله من عباده العلماء   
imam Ahmad berkata : أصل العلم خشية الله تعالى
7.            seorang muta’alim hendaknya selalu bermuroqobah kepada Allah Ta'ala baik dalam keadaan sepi atau nampak, berjalan kepada Allah Ta'ala dengan khouf dan roja’, keduanya bagi seorang muslim seperti dua sayap bagi seokor burung.
8.            Hendaknya selalu rendah hati dan menjauhi dari kesombongan.
9.            Hendaknya seorang muta’alim berhias dengan adab-adab yang mulia seperti kasih sayang, sopan, satun, sabar, tawadlu’ dan lain sebagainya. Sebagaimana perkataan seorang salaf :العلم حرب للفتى المتعالي # كاسيل حرب للمكان العالي   
10.        Hendaknya seorang muta’alim qona’ah dan zuhud. Hakekat zuhud adalah : zuhud terhadap yang haram dengan menjauhi batas-batasannya.

III.             ADAB SEORANG MUTA’ALIM TERHADAP MUALIMNYA
1.            Hendaknya seorang muta’alim menjaga ridho mualimnya meskipun menyelisihi pendapat dirinya.
2.            Hendaknya seorang muta’alim memasuki majlis mualimnya dengan penuh kesiapan baik lahir maupun batin, mengosongkan hatinya dari hal-hal yang dapat memalingkannya dari bertholabul ilmi, membersihkan diri dan pakaiannya dengan bersiwak, memotong kumis, kuku dan menghilangkan bau yang tidak sedap.
3.            Memberi salam ketika memasuki majlis kepada para hadirin dengan suara yang dapat mereka dengar dan menghususkan salam bagi mualimnya dengan penuh rasa hormat, juga mengucapkan salam ketika meninggalkan majlis tersebut.
Sebagian ulama’ dahulu apabila berkunjung ketempat mualimnya ia bersedekah dengan sesuatu dan berdoa  اللهم استر عيب معلمي عني ولا تذهب بركة علمه عني
4.            seorang muta’alim hendaknya tidak menyebarkan rahasia mualimnya, tidak menggibahnya dan menolak ketika mendengar ghibahan yang ditujukan kepadanya, jikalau ia tidak mampu maka ia meninggalkan majlis tersebut.
ADAB-ADAB DALAM MAJLIS
1.            memintra izin ketika hendak memasuki majlis tersebut.
2.            memberi salam kepada yang hadir dalam majlis dengan baik dan menghususkan bagi mualimnya dengan penuh hormat dan juga memberi salam ketika meninggalkan majlis tersebut.
3.            mendahulukan orang yang lebih mulia dan lebih tua ketika memasuki majlis ketika ia bersama mereka. ]
4.            tidak melangkahi pundak-pundak manusia.
5.            tidak membangunkan seseorang dari majlisnya.
6.            tidak duduk ditengah-tengah halaqoh kecuali karena dhorurot, juga tidak duduk diantara dua orang kecuali dengan izin keduanya, jika ia mengizinkan dan meluaskan tempat duduknya ia duduk.
7.            berusaha untuk duduk dekat dengan mualim atau syekhnya. Supaya paham dengan apa yang beliau sampaikan dengan sempurna tanpa ada kesulitan. Dengan syarat tidak mengganggu orang yang lebih utama darinya.
8.            sopan santun terhadap teman dan para hadirin yang ada dalam majlis tersebut, karena sopan santun terhadap mereka juga merupakan sopan santun terhadap syekhnya dan ikhtirom terhadap majlisnya.
9.            duduk dengan duduknya seorang tholibul ilmi bukan duduk seperti seorang pengajar.
10.        tidak meninggikan suaranya dengan suara yang keras tanpa ada maksud atau tujuan, tidak tertawa, banyak bicara tanpa keperluan, tidak bermain-main dengan dengan tangan dan yang lainnya, tidak menoleh tanpa keperluan, tapi hendaknya menghadap syekhnya dan mendengarkan petuah-petuahnya.
11.        tidak mendahului beliau dalam mnjelaskan suatu masalah atau menjawab suatu pertanyaan kecuali jika ia mengetahui bahwa syekhnya mengisyaratkan kepadanya untuk hal itu, untuk menunjukkan keutamaan muridnya.
12.        tidak mengganggu syekhnya dengan membaca ketika ia sedang sibuk, sedih ataupun ngantuk karena hal itu akan memberatkan beliau.
13.        tidak bertanya kepada syekhnya suatu hal tidak pada tempatnya kecuali jika beliau tidak membenci akan hal tersebut, tidak mencela dalam bertanya dengan sesuatu yang dapat membuat ia gelisah, cemas, dan jemu tetapi hendaknya bertanya beliau ketika beliau dalam keadaan baik dan luang waktunya. Lemah lembut dalam bertanya, berbicara dengan baik, tidak malu untuk bertanya sesuatu yang masih samar baginya bahkan meminta syekhnya untuk menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya.
من رقّ وجهه رقّ علمه ومن رقّ وجهه عند السؤل ظهر نقصه عند اجتماع الناس
Artinya : Barang siapa yang malu maka sedikit ilmunya, barang siapa yang malu ketika bertanya maka nampak kekurangannya ketika berkumpul dengan manusia.
Jika syekhnya menanyakan tentang pemahamannya ? maka jangan menjawab “ya “ kecuali jika ia benar-benar paham, janganlah ia malu untuk mengatakan “ saya tidak atau kurang paham”.
14.        Hendaknya ia rakus dalam belajar, menekuninya dalam setiap waktu, baik siang atau malam, baik di waktu mukim atau ketika sedang safar. Ia tidak menghabiskan waktunya kecuali dengan ilmu dan sebatas untuk makan dan tidur secukupnya, dan beristirahat untuk menghilangkan kebosanan dan kejemuan. Bukanlah termasuk orang yang berakal, orang yang mampu untuk menjadi pewaris para nabi tapi ia menyia-nyiakannya.
Imam Asy Syafi’ie berkata : Bagi seorang tholaibul ilmi brhak untuk sampai pada puncak ksungguhan dalam memperbanyak ilmu, sabar atas segala rintangan yang dihadapinya, ikhlas niat hanya untuk mencari ridho-Nya dan dalam bertholabul ilmi mengharap kepada Allah Ta'ala untuk memberi pertolongan kepadanya.
Dalam shohih Muslim dari Yahya bin Abi Kasir :
لا يستطاع العلم براحة الجسم
“ ilmu tidak dapat didapatkan dengan istirahatnya badan “

15.        Seorang muta’alim hendaknya bersabar atas ketidak ramahan seorang mualim, jeleknya akhlak beliau. Dan hal itu tidak menghalanginya untuk melazimi dan meyakini akan kesempurnaan.
16.        Hendaknyua seorang muta’allim mempunyai himmah yang tinggi, sehingga ia tidak ridho dengan yang sedikit padahal ia mampu untuk mendapatkan yang banyak, tidak menunda dan mengakhir-akhirkan waktu untuk mendapatkan ilmu meskipun hanya sedikit, karena mengakhirkan dan menunda-nunda waktu pada waktu yang lain itu akan hilang karena pada waktu yang lain ia akan mendapatkan ilmu yang lain juga.
17.        Hendaknya ia memulai belajarnya dengan memuji kepada Allah Ta'ala, besholawat kepada Rosulullah, bedoa untuk para ulama’, syekh-syekhnya, kedua orang tua dan segenap kaum muslimin. Dan hendaknya memulai pelajarannya di waktu pagi. Karena Rosulullah ShallAllahu'alaihi wasallam  bersabda :
اللهم بارك أمتي في بكرها
“ Ya Allah Ta'ala berkahilah umatku pada waktu pagi “                                           

ADAB-ADAB YANG BERLEBIHAN DALAM THOLABUL ILMI


BERLEBIHAN DALAM MENGAGUNGKAN SEORANG SYEKH

          Diantara adalah adab orang-orang sufi terhadap syekh mereka. Orang-orang sufi telah menetapkan adab-adab yang harus di penuhi oleh seorang murid atau tholib.
1.   Tidak boleh seorang murid menyelisihi terhadap perintah syekhnya secara mutlak. Ini adalah prinsipm syarat, dan adap pertama bagi seorang murid yang harus dipenuhi. Dan seoran murid harus menghadirkan keberadaan syekhnya pada hati dan seluruh raganya, maka tidak boleh mengingkari dan menyelisihi terhadap sesuatu yang dikatakannya secara mutlak dan tidak boelh berpaling darinya baik dengan hati maupun lesannya.
     Dan sya’ir yang mereka selalu dendangkan dan menjadi prinsip bagi mereka adalah :
كن بين يدي شيخ كالميت بين يدي الغاسل
    “ Jadilah kamu ketika dihadapan mayit, seperti mayit dihadapan orang yang    memandikannya”.
    Berkata Al Qhostuny menjelaskan tentang makna dari sya’ir tersebut dengan     perkataannya :
وأن لايخالف شيخه في كل ما يشير عليه لأن الخلاف للمريد في ابتداء حاله دليل على جميع
 عمره
    Artinya : Hendaknya tidak menyelisihi syekhnya dalam setiap yang ditunjuk oleh syekhnya karena menyelisihi bagi seorang murid adalah

    Ia berkata juga :
 ومن شروطه أن لا يكون بقلبه اعتراض على شيخه
    “dan dari syarat seorang murid adalah hendaknya hatinya tidak berpaling dari syekhnya “.
2.         tidak boleh mengingkari syekh tersebut selamanya, meskipun ia berdalil dengan dalil mugkar.
Berkata Ahmad bin Al Mubarok As Salajasami dari apa yang ia riwayatkan dari syekhnya Al Jahl Alumy Abdul Aziz Adz Dziba’ :
“ Ketahuilah semoga allah menetapkan kamu semua. Sesungguhnya wali allah yan telah di buka " المفتوح " itu mengetahui kebenaran dan tidak terikat dengan madzhab dari madzhab-madzhab yang ada, meskipun seluruh madzhab tidak memakai (menolak) seluruhnya. Karena kamampuan wali tersebut untuk menghidupkan syare’at. Dan bagaimana tidak sedang ia adalah orang yang mengetahui Nabi Sallalahu 'Alaihi wa Sallam dengan ujung matanya, dan tidak keluar dari melihat kebenaran jalajalah dalam hukum-hukumnya at taklifiyah dan selainnya. Maka jika keadaannya demikian ia adalah hujjah terhadap selainnya dan selainnya tidak menjadi hujjah atas dirinya, karena tidak ada yang lebih dekat dari kebenaran selain dari al maftuh alaihi المفتوح عليه  . maka jika demikian bagaimana diperbolehkan ingkar terhadap orang yang mempunyai sifat seperti ini, karena ia menyelisihi madzhab fulan dalam suatu hal, maka jika anda mendengar orang menyelisihi    والي المفتوح "  "maka ia adalah orang yang bodoh terhadap syare’at, sebagaimana ini umum terjadi dilakukan oleh orang-orang yan ingkar dan ini tidak layak untuk diingkari dan orang buta itu tidak mengingkari orang yang buta selamanya.
Ini adalah bencana yang besar, karena ia beranggapan bahwa syekhnya itu memiliki madzhab khusus yang ia terima dari Nabi Sallalahu 'Alaihi wa Sallam secara langsung. Dan ia tidak memiliki hajah untuk bertemu dengan madzhab fiqh apapun dan terhadap imam mujtahid manapun, maka janganlah berpaling wahai para murid dari syekh kalian karena ia mendapatkan wahyu dengan cara yang mudah, mereka para ulama’ adalah orang yang buta dan ia “waliyul maftuh” adalah orang yang melihat, itulah ungkapan mereka. 
3.             Perintah untuk taat kepada syekhnya tidak hanya terbatas terhadap hal-hal yang tidak bermanfaat dan tidak masuk akal, tetapi sampai pada perintah untuk meyakini bahwa syekhnya mempunyai syare’at khusus dan diennya adalah mustaqil (independen). Maka ia boleh minum khomer atau berzina dan tidak boleh bagi seorang murid untuk bertanya tentang hal itu. Naudzubillah min dzalik.
4.             Seorang murid sampai sempurna dalam merendahkan diri dan menutup akalnya ( dari melihat keanehan dari syekhnya ) jika syekhnya memerintahkannya dengan perintah-perintah yang tidak masuk akal bahkan suatu kemaksiatan yagn sudah jelas serta kekafiran yang sudah gamblang dengan tujuan untuk mengetahui dan menguji keta’atanya ia harus menta’atinya. Seperti disuruh untuk menghadirkan istri-istri mereka bagi syekhnya, maka jika ia terlambat atau ragu melaksanakannya maka syekhnya mengetahui bahwa muridnya tidak shodiq. Ada juga syekhnya yang lain menyuruh dengan perintah yang lebih gila lagi seperti disuruh untuk membunuh bapaknya sendiri, dan hal itupun juga harus dilakukan oleh seorang murid.
5.             Tidak boleh bagi seorang murid untuk diam, bergerak, bermuamalah atau berinteraksi dengan diri, harta dan bahkan istrinya ataupun safar dan muqim kecuali dengan izin syekhnya. Tidak boleh duduk dimajlisnya kecuali dengan izinnya, tidak boleh menampakkan kaki di hadapan syekhnya, mengangkat suaranya atau bertanya kepada syekhnya tentang dirinya karena syekhnya lebih mengetahui tentang diri muridnya, maka ia tidak boleh memulai bertanya.
                  Dan yang mengherankan lagi adalah orang – orang sufi telah mengambil hak-hak yang telah Allah 'Azza Wa Jalla khususkan bagi nabi atau rosul-Nya, mereka jadikan untuk syekhnya.
                  Bahkan tidak cukup sampai disini saja dengan memberikan bagi syekhnya seperti yang diberikan bagi rosulullah, akan tetapi mereka lebih dari itu, mereka memberikan hak bagi seorang syekh yang allah tidak memberikannya kepada rosul-Nya.

          Itulah diantara adab – adab sufi yang menyelisihi syare’at dan masih banyak lagi keanehan-keanehan yang lain yang akan kita dapati dalam buku-buku mereka.

PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang akhlak seorang tholibul ilmu yang harus mereka penuhi, karena jika ia mengharapkan agar supaya ilmunya bermanfaat bagi dirinya dan orang lain dan dapat membuahkan hasilnya yaitu berupa amal nyata dalam kehidupan ini mereka harus memenuhi adab-adab tersebut, terkhusus lagi bagi seorang tholib terhadap ilmu syar’ie ia harus lebih memperhatikan terhadap adab-adab tersebut. Maka akhirnya kami memohon kepada Allah apa yang kami persembahkan ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin pada umumnya dan bagi para tholibul ilmu syar’ie pada khususnya. Dan sebelum kami akhiri kami banyak mengharapkan dari para pembaca budiman masukan dan saran serta kritik terhadap makalah kami ini yang pasti tidak luput dari kekuragan dan kesalahan.

REFERENSI
q  Al Qur’anul karim.
q  Al Majmu’ Syarhul Muhadab, Imam Nawawi.
q  Al Fikrus Sufy.
q  Hilyatul tholibin.
q  Minhajul Qosidin.



[1]  Sunan Abi dawud, kitabul ilmi bab Dorongan Mencari Ilmu 3/317, sunan tirmidzi, kitabul ilmi bab keutamaan ilmuatas ibadah 5/49, sunan ibnu majah, muqodimah bab keutamaan ulama’ 1/180
[2]  Tafsir Abdurrahman Nashir As Sya’di 1/186, al baghowy 1/134, ibnu Katsir 1/200
[3]  H.R. Tirmidzi 5/29, Abu Dawud 3/321, ibnu Majah 1/98, Ahmad 2/263
[4] H.R. ad darimi 1/81
[5]  Ibnu Abdil Bar, Jami’ bayanul ilmi wa fadluhu 2/7
[6]  Shohih Bukhori Ma’a Al Fath, kitabul ilmi, bab semangat mencari ilmu dan hikmah, 1/ 165 dan shohih muslim 1/558
[7] Tafsir As sya’di 5/194
[8]  Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanul ilmi 1/196
[9] diwanu As Syafi’ie hal, 88 dan Jawabulkafi hal, 104
[10]  Al Bukhori Ma’a al fath, kitabul ilmi 1/228
[11]  H.R. abu Dawud dan Ibnu Majah 1/
Load disqus comments

0 comments