Monday, March 19, 2012

Kedudukan Akal Dalam Islam



Muqadimah

Di antara makhluk Allah lainnya, manusia merupakan makhluk yang paling istimewa. Kelebihan manusia terletak pada akalnya. Dengan akal, manusia menjadi makhluk yang brilian, mampu mengungguli hewan, tumbuhan dan benda-benda lainnya. Namun demikian, akal terkadang membawa bencana bagi manusia akibat tidak digunakan pada tempatnya. Akal yang keluar dari tugasnya laksana kereta yang keluar dari rel, menjerumuskan manusia ke jurang kesengsaraan. Tulisan ini akan mengungkap secara singkat rel akal tersebut.

Sekilas tentang Akal

       Kata akal berasal dari bahasa arab ‘aqala-ya’qilu-aqlun yang bermakna menahan atau mencegah (al man’u). Dikatakan ‘aqala dawaun bathnahu maknanya obat menahan (mengobati) perutnya. Selanjutnya kata aqal dipakai untuk beberapa arti lain, seperti batu (al hajaru), melarang (an nahyu),  diyat (denda) karenaseorang pembunuhaa enggiing unta ke rumah kelurga yang dibunuhnya lalu mengikatnya (ya’qil) disana. Aqal juga dipakai untuka makna hati dan benteng. Namun semua makna ini tak begitu jauh dari makna mencegah. [Lisanul Arab 11/458 dan Al Muhith 4/18].

Secara istilah, kata akal dapat dipakai untuk empat makna :
1.     Gharizah (instink) yang ada dalam diri manusia.  Dengan adanya instink ini, ia bisa memahami dan memikirkan hal-hal disekitarnya.
2.    Ilmu-ilmu dharuri, seperti ilmu tentang hal-hal yang mesti ada dan mesti mustahil. Seperti alam mesti ada penciptanya, dst.
3.    Ilmu-ilmu ayang didapat dengan penelitian dan berfikir. Seperti dua kali dua sama dengan empat, untuk mengetahui kebenarannya mesti dihitung lebih dulu.
4.    Pebuatan sebagai onsekuensi dari ilmu. Karea itu al Ashma’I berkata,” Akal adalah menahan diri dari melakukan hal yang burukdan membatasi jiwa untuk melakukan yang abaikaa saja.” Imam Ashfahani menulis ada seorang yang mensifati seorang Kristen sebagai orang yang berakal, maka pernyataan orang itu dibantah,” Hush, orang yang berakal itu hanya orang yang brtauhid daaaan taat kepada-Nya saja.” [Majmu’ Fatawa 9/287, Al Faqih wal Mutafaqih 2/20, Manhajul Istidalala ‘ala Masailil I’tiqad 1/158-159, UtsmanAli Hasan, Maktabatu ar Rusyd, Riyadh, cet. 2, 1413 H/1993 M. ].

 

Tempat Akal

Para ulama berbeda pendapat mngenai letak akal dalam diri manusia. Ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah berpendapat akal terletak dalam otak, artaianya di kepala. Dasarnya, apabila seseorang mengalami benturan keras di daerah kepala dan ia mengalami gegar otak, akalnya akan holang. Jugakebiasaan orang arab yang mengatakan oranga yang beraal itu sempurna otaknya, sedang orang ayang lemah akalnya sebagai orang yang rianagn / lemah otaknya. [Syarhu al Kaukab al Munir hal.24-25, Al Qurthubi 1/370].

Para ulama Malikiah dan Syafi’iyah berpendapat akal berada dalam hati manusia. Ini juga menjadi pendapat para dokter tempo dulu, sbagian Hanabilah dan imam Abu alid al Baji. Dalil mereka adalaha firman Allah :”Maka mereka mempunyai hati yang dengannya mereka berakal atau telinga yangb dengannya mereaka mendegar. [Al Hajj :46]. Juga perkataan Umar tentang sifat Ibnu Abbas:

“Dzaakuam fatal kahul, inna lahu lisanan saulan wa qalaban aqulan.”

” Anak ini cerdas, ia mempunyai lisan yang banyak bertanya dan hati yang berakal.”

Pendapat yang benar adalah akal itu mempunyai hubungan dengan otak dan hati. Berfikir itu berasal dari otak, sedang keinginan berasal dari hati. Orang yang berkeinginan tak mungkin mempuyai keinginan kecuali setelah memahami apa yang ia inginkan, sedang pemahaman berasal dari otak.”[Majmu’ Fatawa 9/304, Manhajul Istidlal 1/162-163]



Islam Menghargai Akal

Islam adalah agama wahyu dan akal. Wahyu mempunyai kedudukan tersendiri, begitu juga akal. Islam menghargai akal dan menempatkannya pada tempat yang layak, sesuai fitrah manusia dan fungsi akal itu sendiri. Bila kita membuka Al Qur’an dan As Sunah, kita akan menemukan betapa tingginya penghargaan Islam terhadap akal. Ini bisa kita runut dari ayat-ayat dan hadits yang menyebutkan :
     1.      Allah tidak mengajak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal yang memahami syariat dan dien Allah. Allah berfirman,” Dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang berakal.” 12:111,29:35,2:269.
    2.      Beban agama hanya mengenai orang yang mukalaf, yaitu dewasa dan berakal. Rasulullah bersabda,” Pena diangkat atas tiga golongan :a). .”
    3.      Allah mencela orang-orang yang tidak memanfaaatkan akalnya, sebagaimana penyesalan penduduk neraka,” Dan mereka berkata,” Seandainya kami dulu mendengar atau berakal (memikirkan) tentulah kami tidak menjadi penduduk neraka Sa’ir (yang menyala-nyala).” [QS. Al Mulk :10].
    4.      Allah memuji pekerjaan-pekerjaan akal, yaitu tadabur, tafakur dan lain sebagainya. Allah berfirman,” Apakah mereka tidak mentadaburi Al Qur’an.” [QS. AN Nisa’ :82]. Juga firman-Nya,” Supaya kalian berfikir.” Juga firman-Nya,” Maka apakah kalian tidak berakal (berfikir)?”.
    5.      Al Qur’an memuat banyak ayat yang berbicara kepada manusia sesuai akal penalaran dan logika. Allah berfirman,” Kalaulah Al Qur’an itu berasal dari selain Allah tentulah mereka akan mendapati banyak perselisihan dalam Al Qur’an.” [QS. AN Nisa’ :82]. Juga firman-Nya,” Kalau di langit dan bumi itu ada banyak tuhan tentulah keduanya telah rusak.” Juga firman-Nya,” Apakah mereka diciptakan dari barang yang tidak ada ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri?”
    6.      Allah mencela taklid buta yang merupakan penghalang bekerjanya akal. Allah berfirman,“ Dan jika dikatakan kepada mereka ikutilah apa yang diturunkan Allah mereka mengatakan,”Kami akan mengikuti apa yang kami dapatkan dari orang-orang tua kami . (apakah mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka) sekalipun mereka tidak berakal sedikitpun dan tidak mendapat petunjuk ?” [QS. Al Baqarah :170].
    7.      Allah memuji hamba-Nya yang menggunakan akalnya untuk ecarai dan mengikuti kebenaran. “ Maka berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku. Yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baik. Mereka itulah orang-orang yang diberi hidayah Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”
    8.      Allah menunjukkan hal-hal yang menjadi bidang garap pekerjaan akal. Seperti disebutkan dalam ayat,” Apakah mereka tidak melihat langit yang berada di atas mereka, bagaimana Kami membangunnya dan menghiasinya tanpa ada …” [QS. Qaaf:].
    9.      Allah menunjukkan hal-hal yang berada diluar jangkauan akal manusia dan akal tidak boleh ikut bermain di dalamnya. Seperti firman Allah,”Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,” Ruh itu termasuk urusan Allah saja dan kalian tidak diberi ilmu kecuali sedikit.”
   10.     Anjuran untuk menggunakan qiyas yang benar. Seperti firman Allah,”Maka ambilah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai bashirah.” [Al Madkhal Li Dirasati al Aqidah al Islamiyah hal. 40-42,  Manhaju al Istidlal ‘Ala Masaili al I’tiqad ‘Inda Ahli Sunah wal Jama’ah 1/168-173].

 

Karakteristik Akal Seorang Muslim

Akal adalah potensi. Ia bersifat netral, tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Manakala digunakan oleh orang beriman, ia akan menuntunnya kepada keagungan Allah Ta’ala dan kesejahteraan manusia. Namun manakala ia dimanfaatkan oleh orang kafir yang jauh dan lepas dari bimbingan wahyu, akal justru akan menyeret manusia kepada kerusakan dan kesengsaraan. Karena itu Islam menggariskan beberapa karakteristik yang mesti ada agar potensi akal bisa dimanfaatkan untuk kebaikan manusia.   
Dr. Abdus Salam Al Basyuni menyebutkan beberapa karakteristik yang tersebut adalah :
Pertama. Akal muslim. Maknanya akal yang benar-benar tunduk kepada ketentuan Allah Ta’ala. Ia mengerti betul medan mana saja yang harus digeluti dan medan mana yang  ia tidak boleh turut campur di dalamnya. Akal muslim berarti akal yang beragama bukan akal seorang atheis. Dalam medan yang dilarang bergerak, ia berhenti dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada nash secara sempurna karena ia menyadari memang ada medan yang di luar kemampuan dan jangkauannya. Setelah meneliti, akal menyadari bahwa syar’I tak mungkin memerintahkan hal yang membawa kemudharatan bagi manusia. Akal menyadari antara hati dan akal beredar di orbit yang sama, tak mungkin keduanya bertabrakan atau saling menghancurkan. Akal dan hati laksana bulan dan planet. Akal mengikuti hati yang dibimbing wahyu, sebagaimana bulan beredar mengelilingi planet.
Dalam medan yang diperbolehkan, akal bekerja mengerahkan segenap kemampuannya untuk berdaya upaya bagi kesejahteraan manusia, dengan satu syarat tidak keluar atau menentang wahyu. Dalam medan ayang dibolehkan bergerak inilah, akal benar-benar bermanfaaat melahirkan berbagai kemajuan fisik yang memabawa kesejahteraan hiduap manusia. Akal menjadi awal dari perbagai penemuan dan kemajiuan di bidang industri, iptek, kesehatan dan bidang kehidupan lainanya.
Ustadz Muhammad Qutb menjelaskan hubungan akal dengan wahyu dengan jelas. Kata beliau,” Jadi wahyu dan akal bukanlah dua hal yang seimbang (serupa dan sama). Tapi yang pertama (wahyu) lebih besar dan lebih sempurna dari yang kedua. Yang pertama datang untuk menjadi pokok bagi yang kedua dan mizan (neraca timbangan) untuk menguji konsep dan pemahaman yang kedua (akal) dan membenarkan kekurangan dan penyelewengan yang kedua. Antara keduanaya ---tak diragukan lagi --- memang ada kesesuaian namun atas dasar ini (sama-sama bekeraja demi kemaslahatan manusia namun wahyu mengendalikan dan mengawasi akal---pent), bukan atas dasar menganggap keduanya sebagai dua hal sebanding.” [Khashoishu al Tashawur al Islamy hal. 20, dari Basyuni hal. 27].
Dari sini akal seorang muslim adalah akal ghoibi, dalam artian kata mengimani hal-hal yang ghoib dan mu’jizat-mu’jizat yang telah ditetapkan Alalh sekalipun tak bisa dicerna akal sehat. Hal-hal yang ghaib dan mu’jizat para nabi memang seratus persen dari Allah, karena itu para nabi sendiri mendatangkan mu’jizat itu bukan atas kemauan mereka sendiri, namun sekali lagi atas kehedak Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,”  Katakanlah Maha Suci Rabbku. Bukankah aku tak lain hanyalah seorang manusia biasa dan seorang rasul.” [QS. Al Isra’ :93].
Ini tentu berbeda dengan akal para “ pakar dan cendekiawan muslim ” hari ini yang banyak meragukan wahtu, hal-hal yang ghoib dan mu’jizat para nabi dengan alasan tak masuk akal. Akal yang demikian ini tentu bukan akal yang sehat, namun akal yang sakit dan teracuni oleh virus-virus pemikiran barat dan kufur.

Kedua. Akal Ushuli Salafy. Artinya akal yang benar-benar mengakui dasar-dasar dan pokok-pokok sumber ajaran Islam :
 × Mengakui dan menagimani Al Qur’an Al Karim, berikut muhkam dan mutasyabihnya, qath’i dilalah dan dhoni’ dialahnya.
 × Menghormati dan berkhidmat kepada sunah nabawiayah, menerima yang sunah yang shahih yang diterima oleh umat setelah diperiksa oleh para pakar hadits melalui qaidah-qaidah musthalah hadits. Akal seorang muslim selalu menerima setiap hadits yang shahih, tanpa membuat dikotomi hadits ahad-hadits mutawatir, hadits masalah hukum-hadits masalah aqidah dst seperti dilakukan oleh kaum Mu’tazilah, yang ditiru para “cendekaiawan gerakan pembaharuan keagamaan” dewasa ini.
 × Mengakui ijma’ dan mencari hal-hal yang telah menjadi ijma’ para ulama. Manakala suatu masalah telah menjadi ijma’, akal tak boleh mencari-cari celah untuk menemukan pendapat yang lain.
 × Mengakui qiyas shahih sebagai dasar keempat bagi ijtihad. Qiyas yang shahih akan membimbing akal menuju kesesuaian ajaran Islam dengan berbagai perkembangan zaman.

Karena itu akal seorang muslim menolak berbagai pemikiran yang merusak keempat dasar Islam ini. Akal menolak :
Load disqus comments

0 comments