Monday, February 27, 2012

GERAKAN DALAM SHALAT


MUQQADDIMAH
Sesungguhnya shalat memiliki kedudukan yang sangat agung dan tinggi di dalam Islam dan memiliki peran yang fital dalam pembentukan pribadi pemeluknya. Akan tetapi dalam perjalanan waktu yang semakin jauh dari masa Rasulullah dan para sahabatnya, kaum muslimin kurang memperhatikannya. Banyak di antara mereka yang mengerjakannya dengan semaunya sampai berani meninggalkannya dengan sengaja, baik karena malas, meremehkan ataupun kerena syubhat yang menimpa mereka.
Kenapa hal ini bisa terjadi pada diri mereka? Apakah mereka tidak mengetahui keutamaan shalat, hukumnya dan hukum meninggalkannya?
Dalam kesempatan ini, kami berusaha membahas gerakan dalam shalat dengan berlandaskan kepada al-Qur’an, al-Hadits dan perkataan para ulama, sehingga masalah ini jelas bagi kita seperti jelasnya purnama di malam yang tiada berawan. Mengingat shalat adalah amal pertama kali yang akan dihisab pada diri seorang hamba, baik ketika di alam kuburnya maupun ketika dipertemukan dengan Tuhannya, bila shalatnya itu baik maka baiklah semua amalnya, namun bila shalatnya rusak maka rusaklah semua amalnya.

GERAKAN DALAM SHALAT
Disunnahkan bagi seorang mukmin untuk menyongsong shalatnya dan khusyu’ dalam melaksanakannya dengan sepenuh jiwa dan raganya, baik itu shalat fardhu ataupun shalat sunnah, berdasarkan firman Allah Ta’ala.
Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” [Al-Mukminun : 1-2]
Di samping itu ia harus thuma’ninah (tenang dan tidak terburu-buru), yang mana hal ini merupakan rukun dan kewajiban terpenting dalam shalat, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau sampaikan kepada seseorang yang buruk dalam melaksanakan shalatnya dan tidak thuma’ninah, saat itu beliau bersabda, “Kembalilah (ulangilah) dan shalatlah karena sesunguhnya engkau belum shalat”, hal itu beliau ucapkan sampai tiga kali (karena orang tersebut setiap kali mengulangi shalatnya hingga tiga kali, ia masih tetap melakukannya seperti semula), lalu orang tersebut berkata. ”Wahai Rasulullah, Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebanaran, aku tidak dapat melakukan yang lebih baik daripada ini, maka ajarilah aku”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
Artinya: “Jika engkau hendak mendirikan shalat, sempurnakanlah wudhu, lalu berdirilah menghadap kiblat kemudian bertakbirlah (takbiratul ihram), lalu bacalah ayat-ayat al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian ruku’lah sampai engkau berdiri tegak, kemudian sujudlah sampai engkau tenang dalam posisi duduk. Kemudian, lakukan itu semua dalam semua shalatmu”[1]
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan.
حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ مُوسَى الْخُتَّلِيُّ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادِ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَصَّ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ فِيهِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ ثُمَّ تَشَهَّدْ فَأَقِمْ ثُمَّ كَبِّرْ فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ بِهِ وَإِلَّا فَاحْمَدْ اللَّهَ وَكَبِّرْهُ وَهَلِّلْهُ وَقَالَ فِيهِ وَإِنْ انْتَقَصْتَ مِنْهُ شَيْئًا انْتَقَصْتَ مِنْ صَلَاتِكَ
Artinya: “Kemudian bacalah permulaan al-Qur’an (surat al-Fatihah) dan apa yang dikehendaki Allah.”[2]
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa thuma’ninah (tenang dan tidak terburu-buru) merupakan salah satu rukun shalat dan merupakan kewajiban yang besar dimana shalat tidak akan sah tanpanya. Barangsiapa yang dalam shalatnya mematuk (seperti burung) berarti shalatnya tidak sah. Kekhusyu’an dalam shalat merupakan jiwanya shalat, maka yang disyariatkan bagi seorang mukmin adalah memperhatikan hal ini dan memeliharanya. Adapun tentang batasan jumlah gerakan yang menghilangkan thuma’ninah dan kekhusyu’an dengan tiga gerakan, maka hal itu bukan berdasarkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi merupakan pendapat sebagian ahlul ilmi, jadi tidak ada dasar dalilnya.
Namun demikian, dimakruhkan melakukan gerakan sia-sia di dalam shalat, seperti menggerak-gerakan hidung, jenggot, pakaian, atau sibuk dengan hal-hal tersebut. Jika gerakan sia-sia itu sering dan berturut-turut, maka itu membatalkan shalat, tapi jika hanya sedikit dan dalam ukuran wajar, atau banyak tapi tidak berturut-turut, maka shalatnya tidak batal. Namun demikian, disyari’atkan bagi seorang Mukmin untuk menjaga kekhusyu’an dan meninggalkan gerakan sia-sia, baik sedikit maupun banyak, hal ini sebagai usaha untuk mencapai kesempurnaan shalat.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa gerakan-gerakan yang sedikit tidak membatalkan shalat, juga gerakan-gerakan yang terpisah-pisah dan tidak berkesinambungan tidak membatalkan shalat, adalah sebagaimana yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa suatu hari beliau membukakan pintu masuk ‘Aisyah, padahal saat itu beliau sedang shalat.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَمُسَدَّدٌ وَهَذَا لَفْظُهُ قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرٌ يَعْنِي ابْنَ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا بُرْدٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَحْمَدُ يُصَلِّي وَالْبَابُ عَلَيْهِ مُغْلَقٌ فَجِئْتُ فَاسْتَفْتَحْتُ قَالَ أَحْمَدُ فَمَشَى فَفَتَحَ لِي ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مُصَلَّاهُ وَذَكَرَ أَنَّ الْبَابَ كَانَ فِي الْقِبْلَةِ
Dari Aisyah ia berkata: “Adalah Rasulullah shallallhu alaihi wasallam shalat dan pintu tertutup, kemudian saya [Aisyah] datang dan minta untuk dibukakan pintu, kemudian beliau berjalan dan membukakan pintu untukku, lalu kembali pada tempat shalatnya.[3]
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ سُلَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو قَتَادَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ عَلَى عَاتِقِهِ فَصَلَّى فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَ وَإِذَا رَفَعَ رَفَعَهَا. [4]
Diriwayatkan juga dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadits Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa pada suatu hari beliau shalat bersama orang-orang dengan memangku Umamah bintu Zainab, apabila beliau sujud,beliau menurunkannya, dan saat beliau berdiri, beliau memangkunya lagi. [5]

PENUTUP
Imam Ahmad mengatakan: “Setiap orang yang menggampangkan shalat dan meremehkannya, berarti ia menggampangkan islam dan meremehkannya, sebab kadar manusia dari islam adalah sesuai dengan kadar kepedulian mereka terhadap shalat, kecenderungan mereka terhadap islam sesuai dengan kadar kecenderungan mereka tehadap shalat. Maka kenalilah dirimu wahai hamba Allah, waspadalah suatu saat nanti engkau bertemu Allah tanpa kadar islam dalam dirimu, sebab kadar Islam di dalam hatimu sesuai dengan kadar shalat di dalam hati.
Karena demikian agungnya kedudukan shalat dan demikian pentingnya di dalam agama, maka adalah seharusnya kita mengetahui hukum dan hikmah-hikmahnya, serta sifat dan rahasianya. Wallahu waliyut taifiq




[1] .[Disepakati keshahihannya ; Al-Bukhari, kitab Al-Adzan 757, Muslim kitab Ash-Shalah 397]
[2] . [Abu Dawud, kitab Ash-Shalah 859]
[3] . [Abu Dawud, kitab Ash-Shalah 922, At-Turmudzi, kitab Ash-Shalah 601, An-Nasa’i, kitab As-Sahw 2/11]
[4] .[Al-Bukhari, kitab Al-Adab 5996, Muslim kitab Al-Masajid 543]
[5] .[Kitab Ad-Da’wah, hal 86-87, Syaikh Ibnu Baz]. [Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 185-187 Darul Haq]
Load disqus comments

0 comments