Thursday, September 20, 2012

Proses tata cara pernikahan yang Islami



Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Subhanallah. Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain. Namun di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang. 

Pada risalah yang singkat ini, kami akan mengungkap tata cara penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam yang hanya dengan cara inilah kita terhindar dari jalan yang sesat (bidah). Sehingga orang-orang yang mengamalkannya akan berjalan di atas landasan yang jelas tentang ajaran agamanya karena meyakini kebenaran yang dilakukannya. Dalam masalah pernikahan sesunggguhnya Islam telah mengatur sedemikian rupa. Dari mulai bagaimana mencari calon pendamping hidup sampai mewujudkan sebuah pesta pernikahan. Walaupun sederhana tetapi penuh barakah dan tetap terlihat mempesona. Islam juga menuntun bagaimana memperlakukan calon pendamping hidup setelah resmi menjadi sang penyejuk hati. 
Berikut ini kami akan membahas tata cara pernikahan menurut Islam secara singkat.
Read more

Thursday, September 13, 2012

Bila Ilmu dan Amal diabaikan


Muhammad bin Al-Fadhl rahimahullah berkata: Ada empat golongan manusia yang dapat menghilangkan islam, yaitu :
1.      Suatu kaum yang tidak mau beramal dengan ilmunya.
2.      Suatu kaum yang beramal tanpa didasari ilmu.
3.      Suatu kaum yang tidak mempunyai ilmu dan tidak beramal.
4.      Suatu kaum yang menghalangi manusia untuk belajar.
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata : "Golongan yang pertama dan kedua ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ulama salaf termasuk Sufyan bin Uyainah: "Hati-hatilah terhadap fitnah orang alim yang fajir dan ahli ibadah yang jahil, karena keduanya merupakan pangkal dari segala fitnah." Ini dikarenakan manusia mengikuti ulama dan ahli ibadah di antara mereka, apabila ulama mereka fajir dan ahli ibadah mereka jahil, maka musibah akan menyeluruh dan akan timbul fitnah yang besar dikarenakan oleh keduanya. Adapun golongan yang ketiga, mereka seperti binatang ternak. Sedangkan golongan yang keempat, mereka adalah duta iblis di bumi, merekalah yang menghalangi manusia dari menuntut ilmu dan bertafaquh fiddin, mereka lebih berbahaya bagi penuntut ilmu dari pada setan yang berbentuk jin, karena mereka menjadi tabir antara hati manusia dengan petunjuk dan jalan Allah."
Read more

Thursday, July 19, 2012

Sunday, June 3, 2012

Menyimpan Halaman Website / Blog ke Format PDF Tanpa Software Tambahan

Untuk menyimpan dokumen digital paling praktis dan paling banyak digunakan saat ini adalah dengan menyimpannya ke dalam  format PDF (Portable Document Format ).
Ketika anda menemukan halaman di website atau blog yang menurut anda menarik atau anda memerlukannya tentu anda ingin menyimpannya. Nah.. tidak ada salahnya anda langsung  menyimpannya ke dalam format PDF.

Gunakan browser Google Chrome, karena dengan Google Chrome anda tidak perlu lagi menginstalkan / menggunakan software tambahan untuk konversi atau menyimpan halaman website  ke dalam format PDF, karena fasilitasnya sudah tersedia yaitu menu  Print to PDF.

Read more

Membuka Proteksi Halaman Web/Blog Yang Tidak Bisa Dicopy

Ketika anda menemukan artikel yang anda cari di blog atau website, dan anda perlu untuk mengcopynya namun tidak bisa karena halamannya diproteksi, misalnya  artikelnya  tidak bisa dihighlight (diseleksi), atau tidak bisa diklik kanan, sehingga anda tidak bisa mengcopynya.

Umumnya proteksi tersebut menggunakan javascript, jadi untuk membuka proteksi tersebut yang kita lakukan adalah mendisable / mematikan javascript pada browsernya.

Berikut ini cara mendisable / menonaktifkan / mematikan javascript untuk browser Google Chrome, Mozilla Firefox
(Setelah Javacript dimatikan,  refresh  kembali halaman web atau blog yang diproteksi tadi).

Read more

Remote Komputer / Remote Desktop Lewat Internet

Ketika anda sedang berada di luar kota atau bahkan di luar negeri, dan anda harus mengakses komputer anda yang ada di rumah, di kantor atau dimana saja. untuk copy file atau keperluan lainnya, atau untuk troubleshooting masalah program di client atau customer anda yang jaraknya cukup jauh,  atau untuk keperluan setting konfigurasi alat / mesin dll, solusinya adalah dengan menggunakan aplikasi remote komputer via internet.

Dengan aplikasi remote komputer / remote desktop, seolah-olah kita berada persis di depan komputer yang aslinya (yang diremote) karena tampilannya akan persis sama .


Salah satu aplikasi yang handal untuk keperluan ini adalah TeamVewer, aplikasi yang gratis (gratis untuk personal, berbayar untuk commercial use), ukuran installernya hanya sekitar 3MB,  untuk mendownload tinggal   masuk ke situsnya di  www.teamviewer.com atau  untuk download file zipnya (for Windows)  klik disini

Read more

Tuesday, May 22, 2012

HAL- HAL YANG MEMBATALKAN KEISLAMAN

http://nairussunnah.blog.com/files/2011/04/survivor-desktop-background.jpg
Add caption
            Allah juga telah mengutus NabiNya Muhammad r untuk berdakwah ke dalam hal ini, dan memberitahukan bahwa barang siapa bersedia mengikutinya akan mendapatkan petunjuk dan barang siapa yang menolaknya akan sesat. ketahuilah, wahai saudaraku kaum muslimin, bahwa Allah U telah mewajibkan kepada seluruh hamba – hambaNya untuk masuk ke dalam agama Islam dan berpegang teguh denganya serta berhati –hati untuk tidak menyimpang darinya.            Allah juga mengingatkan dalam banyak ayat- ayat Al-Qur’an untuk menghindari sebab- sebab kemurtadan, segala macam kemusyrikan dan kekafiran.     Para ulama rahimahumullah telah menyebutkan dalam bab hukum kemurtadan, bahwa seorang muslim bisa di anggap murtad ( keluar dari agama Islam) dengan berbagai macam hal yang membatalkan keislaman, yang menyebabkan halal darah dan hartanya dan di anggap keluar dari agama Islam.
            Yang paling berbahanya dan yang paling banyak terjadi ada sepuluh hal, yang di sebutkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama lainnya, dan kami sebutkan secara ringkas, dengan sedikit tambahan penjelasan untuk anda, agar anda dan orang – orang selain anda berhati hati dari hal ini, dengan harapan dapat selamat dan terbebas darinya.
           
Read more

Thursday, April 26, 2012

ADZAB KUBUR



Muqoddimah

            Kuburan adalah merupakan taman diantara taman-taman “ Jannah “ Surga, dan merupakan lubang diantara lubang-lubang “ Naar “ Neraka. Pada dasarnya siksa kubur itu merupakan siksa alam Barzakh, maka setiap mayit yang berhaq mendapatkan siksa, niscaya dia akan mendapatkan siksa tersebut, baik dikubur ataupun tidak, baik dimakan hewan buas atau terbakar sehingga mayit tersebut menjadi debu, atau ditaburkan di udara, disalib atau tenggelam di tengah lautan. Kesemuanya itu akan mendapatkan siksaan/ adzab kubur seperti halnya orang yang berada dikuburan.  [1]
            Maka bagi orang yang beriman ia meyakini bahwa siksa kubur adalah suatu kebenaran (al-haq) yang harus diyakininya, adapun bagi orang yang mengingkarinya maka berarti ia berada dalam kesesatan. [2]

Read more

Ptunjuk Meneguhkan Iman


Saat ini kaum muslimin sedang dihadapkan pada persoalan besar, diantaranya syubhat, syahwat, penyimpangan faham keagamaan, perpecahan dan lain-lain. Cobaan-cobaan tersebut silih berganti menghempas, menggoyahkan dan menggerogoti iman. Tidak mustahil seorang muslim selanjutnya membelot, bahkan murtad dari keislamannya. Berikut ini kami uraikan 15 petunjuk yang bersumber dari Al Qur'an dan Al Hadits yang dapat dijadikan sandaran dalam memelihara keteguhan iman kita. Bagian pertama dari dua tulisan.
1. Akrab dengan Al Qur'an
            Al Qur'an merupakan petunjuk utama untuk mencapai tsabat (keteguhan iman). Al Qur'an merupakan penghubung yang amat kokoh antara hamba dengan Rabbnya. Barangsiapa berpegang teguh dengan Al Qur'an, niscaya Allah akan memeliharanya, barangsiapa mengikuti Al Qur'an, niscaya Allah akan menyelamat-kannya dan barangsiapa menyeru kepada Al Qur'an, niscaya Allah akan menunjukinya ke jalan yang benar.
Read more

Monday, March 19, 2012

Kedudukan Akal Dalam Islam



Muqadimah

Di antara makhluk Allah lainnya, manusia merupakan makhluk yang paling istimewa. Kelebihan manusia terletak pada akalnya. Dengan akal, manusia menjadi makhluk yang brilian, mampu mengungguli hewan, tumbuhan dan benda-benda lainnya. Namun demikian, akal terkadang membawa bencana bagi manusia akibat tidak digunakan pada tempatnya. Akal yang keluar dari tugasnya laksana kereta yang keluar dari rel, menjerumuskan manusia ke jurang kesengsaraan. Tulisan ini akan mengungkap secara singkat rel akal tersebut.

Sekilas tentang Akal

       Kata akal berasal dari bahasa arab ‘aqala-ya’qilu-aqlun yang bermakna menahan atau mencegah (al man’u). Dikatakan ‘aqala dawaun bathnahu maknanya obat menahan (mengobati) perutnya. Selanjutnya kata aqal dipakai untuk beberapa arti lain, seperti batu (al hajaru), melarang (an nahyu),  diyat (denda) karenaseorang pembunuhaa enggiing unta ke rumah kelurga yang dibunuhnya lalu mengikatnya (ya’qil) disana. Aqal juga dipakai untuka makna hati dan benteng. Namun semua makna ini tak begitu jauh dari makna mencegah. [Lisanul Arab 11/458 dan Al Muhith 4/18].

Read more

KESESATAN AQIDAH SYI’AH MENGENAI AL QUR’AN


KESESATAN  AQIDAH SYIAH
MENGENAI AL QURAN

·      PENDAHULUAN

Pada makalah ini kami menampilkan salah satu kesesatan aqidah syiah  yang menjalar dikalangan kita. Yakni berkenaan dengan aqidah mereka mengenai Al Qur’an.
Beberapa kepercayaan yang menjadi aqidah syiah adalah :
1. Abu Abdullah alaihis salam berkata : Al Quran yang dibawa oleh Jibril alaihis salam kepada Muhammad shollallahu alaihi wasallam, adalah tujuh belas ribu. (Al Kaafi Fil Ushul : 2/634)
2. Dari padanya pula : Pada pihak kami sungguh ada mushaf fatimah alaihas salam dan tahukah mereka apa mushaf fatimah itu ? jawabnya : mushaf fatimah itu isinya tiga kali lipat dibanding dengan Al Quran kalian ini. Demi Allah, tidak satupun huruf dari Al Qur’an tersebut terdapat dalam Al quran kalian. (Al Kaafi Fil Ushul : 1/240-241).
3. Dari Jabir dari Abu Jafar alaihis salam ia berkata : Saya bertanya mengapa Ali bin Abi Tholib dinamakan amirul mukminin ? jawabnya : Allah yang menamakan demikian . begitulah yang telah diturunkan di dalam kitab sucinya yaitu firman-Nya :
Read more

Bid'ah mihrab


Bid’ahnya Mihrab
Muqaddimah
Yang namanya bid’ah memang tidak pandang bulu. Banyak sudah yang menjadi korbannya, besar atau kecil, miskin atau kaya, kurus atau gemuk, dan lain sebagainya. Bid’ah memang bahaya karena pelakunya menganggapnya baik. Berbeda dengan para pelaku maksiat karena mereka mengetahui bahwa perbuatannya itu dosa.
Oleh karena itu, Ahlus Sunnah meyakini bahwa iblis lebih mencintai ahli bid’ah daripada pelaku maksiat. Penyebabnya apa? Seperti yang telah diutarakan tadi, penyebabnya yaitu pelakunya menganggap hal tersebut adalah baik. Jadi, seorang Muslim yang berzina lebih baik daripada seorang ulama yang ahli bid’ah. Karena apa? Karena Muslim tadi mengakui bahwa yang ia lakukan adalah dosa. Berbeda dengan ulama ahli bid’ah tadi. Ia malah menganggap hal tersebut adalah baik. Dengan demikian, pada hakikatnya ia telah menganggap Allah dan Rasul-Nya belum menyempurnakan agama ini hingga ia perlu menambah-nambahnya.
Nah, pada kesempatan kali ini, kita akan membahas salah satu bid’ah yang biasa terjadi di masjid-masjid, yaitu Bid’ahnya Mihrab.

Syubhat-Syubhat Dan Bantahannya
Orang-orang yang membantah pernyataan bahwa mihrab adalah bid’ah biasanya mengandalkan dalil sebagai berikut:
1.
Bahwa hadits yang menyatakan larangan membuat mihrab di masjid adalah dlaif, yaitu hadits berikut :
Dari Musa Al Juhani berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Ummatku/umat ini selalu berada di dalam kebaikan selama mereka tidak menjadikan di dalam masjid-masjid mereka seperti mihrab-mihrabnya orang-orang kristen.” (HR. Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf)
2.
Dan bukankah ada contoh dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau masuk ke dalam mihrab dan berdoa seperti di dalam hadits ini :
Dari Wa’il bin Hujr radliyallahu 'anhu berkata, aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika bangkit menuju masjid maka beliau masuk ke mihrab. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir. Kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.” (HR. Baihaqi)
Bukankah hadits ini menunjukkan bahwa beliau masuk ke dalam mihrab, bahkan beliau shalat di situ dan tidak menyatakan ini bid’ah? Atau mengingkari hal tersebut?
3.
Bukankah di sini berlaku istilah Mashalihul Mursalah seperti tanda untuk arah kiblat?
Baiklah, sebenarnya pada permasalahan ini sebelumnya sudah ada yang berpendapat seperti itu, yaitu Al Kautsari, dia adalah seorang ahli di dalam masalah hadits. Akan tetapi dia terbawa fanatisme (ta’ashshub) terhadap madzhabnya, yaitu Hanafi dan termasuk pembawa bendera atau panji pemahaman Jahm bin Shafwan (menolak adanya sifat Allah). Pendapat tersebut telah dibantah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Sekarang permasalahan hadits dan jawaban itu kita serahkan kepada Syaikh untuk dijawab. Mari kita baca dari kitab beliau,  Silsilah Al Hadits Adl Dla’ifah wal Maudlu’ah juz 1 halaman 446.
Setelah membawakan hadits pertama tadi (yaitu hadits dari Musa Al Juhani), Syaikh berkata, hadits ini adalah dlaif, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf juz 1/107/1 :
Waqi’ telah berkata kepada kami, ia berkata, Abu Israil bercerita kepada kami dari Musa Al Juhany, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : … .
Komentarku (Al Albani) : Ini adalah sanad yang dlaif. Padanya ada dua ‘illat (penyakit) yaitu :
Pertama, I’dhal/Mu’dhal. Karena Musa Al Juhani, yakni Abu Abdillah hanya meriwayatkan dari shahabat melalui perantara para tabi’in seperti Abdurrahman bin Abi Laila, Sya’bi, Mujahid, Nafi’, dan lain-lainnya. Sedangkan ia (Musa Al Juhani) adalah seorang tabi’ut tabi’in. As Suyuthi mengatakan dalam I’lamul Ariib bi Hudutsi Bid’atil Mahaarib halaman 30 bahwa hadits ini adalah mursal. Sebenarnya pernyataan ini kurang tepat karena mursal menurut istilah para Muhadditsin (ulama Ahli Hadits) adalah ucapan tabi’in yang langsung menyebut sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tanpa menyebutkan nama shahabat. Sedangkan ia (Musa Al Juhani) adalah seorang tabi’ut tabi’in.
Kedua, dlaif (lemahnya) Abu Israil yang nama aslinya adalah Ismail bin Khalifah Al ‘Absi. Al Hafidh mengomentari orang ini dalam At Taqrib :
“Orangnya jujur tapi jelek dari segi hafalannya.”
Yang demikian ini terdapat dalam naskah Al Mushannaf kami yang masih berbentuk makhthuthath (manuskrip/tulisan tangan). Sedangkan yang terdapat dalam nukilan As Suyuthi dari Mushannaf dalam kitabnya, Al I’lam :
“Dia adalah Israil, yakni Israil bin Yunus bin Abi Ishaq As Sabi’i. Ia adalah tsiqah yang termasuk dalam Thabaqat Abu Israil. Mereka berdua termasuk guru-guru Waqi’ (seorang tabi’in).”
Aku sama sekali tidak bisa mencari yang lebih shahih dari dua naskah tersebut (Abu Israil atau Israil). Dan jika yang lebih benar adalah pendapat yang pertama (Abu Israil) maka naskah yang ada pada kamilah yang bagus karena asal naskah kami adalah dari tahun 735 Hijriyah. Berdasarkan apa yang diterangkan oleh As Suyuthi maka ia mengatakan :
“Ini adalah mursal, shahihul isnad!
Engkau sudah tahu bahwa hadits ini mu’dhal. Inipun jika selamat dari Abu Israil. Aku (Albani) tidak menganggap ini adalah selamat karena telah rajih bagiku bahwa ini adalah riwayatnya. Setelah aku memperhatikan naskah Mushannaf 1/177/1 yang lainnya maka aku dapati naskah ini sesuai dengan naskah yang pertama. Berdasarkan inilah maka sanad ini adalah dlaif dan mu’dhal.
Adapun yang dimaksud :
Dalam hadits ini adalah mihrab sebagaimana diterangkan dalam Lisanul ‘Arab dan yang lainnya. Seperti ketika menafsirkan hadits Ibnu Umar secara marfu’ dengan lafadh :
“Takutlah kalian kepada
ini, yaitu mihrab-mihrab.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi 2/439 dan selain beliau dengan sanad yang hasan. As Suyuthi berkata dalam risalahnya, Al I’lam halaman 21 :
“Hadits ini tsabit (kokoh).”
Beliau berhujjah serta berargumen dengan hadits ini tentang pelarangan membuat mihrab-mihrab di masjid-masjid. Dan padanya ada permasalah yang telah aku terangkan dalam Tsimarul Mustathab fii Fiqhis Sunnati wal Kitab yang kesimpulannya bahwa yang dimaksud adalah bagian depan masjid sebagaimana yang ditetapkan oleh Al Manawi dalam Al Faidh.
Kemudian As Suyuthi mengatakan dalam risalahnya tadi bahwa mihrab di masjid adalah bid’ah. Pendapatnya ini disepakati oleh Syaikh Ali Al Qari dalam Murqathul Mafatih 1/474 dan lain-lainnya. Dan ini --yang kumaksud adalah kebid’ahannya-- tidak perlu bersandar dengan hadits mu’dhal tadi. Walau hadits ini jelas-jelas menerangkan tentang larangannya namun kita tidak perlu berhujjah dengan hadits yang tidak tetap dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam akan tetapi kita berhujjah dengan yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dari Ibnu Mas’ud bahwa :
“Beliau membenci shalat di mihrab.”
Beliau mengatakan : “Itu hanya untuk gereja-gereja maka kalian jangan bertasyabuh (meniru) ahli kitab.”
Yakni beliau membenci shalat di dalam mihrab. Al Haitsami 2/51 berkata : “Rijal hadits ini adalah tsiqat.”
Aku (Albani) berkata, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibrahim, ia berkata Abdullah (Ibnu Mas’ud, pent.) berkata : “Takutlah kalian terhadap mihrab-mihrab ini.” Dan Ibrahim tidak shalat di situ.
Aku berkata : Ini shahih dari Ibnu Mas’ud, adapun Ibrahim, dia adalah Ibnu Yazid An Nakha’i, walau ia tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud. Maka tampaknya secara dhahir ini adalah mursal. Akan tetapi segolongan para imam menshahihkan hadits-haditsnya yang mursal. Al Baihaqi mengkhususkan kemursalan Ibrahim dari Ibnu Mas’ud. Mengapa demikian?
Aku berkata, pengecualian bagi Ibrahim ini adalah benar. Berdasarkan yang diriwayatkan oleh A’masy, ia berkata, aku bertanya kepada Ibrahim ketika ia menyambungkan riwayat langsung kepada Ibnu Mas’ud maka ia berkata :
“Bila aku mengabarkan suatu hadits kepada kalian dari seseorang dari Ibnu Mas’ud maka hadits tersebut memang aku dengar sendiri (dari orang tersebut). Dan jika aku langsung berkata dari Ibnu Mas’ud maka hadits tersebut aku dengar bukan dari satu orang saja!”
(Al Hafidh memutlakkannya seperti ini di dalam At Tahdzib. Akan tetapi At Thahawi me-maushul-kannya (1/133) dan juga Ibnu Sa’ad di dalam At Thabaqat 6/272. Dan juga Abu Zur’ah di dalam Tarikh Dimasyq 2/121 dengan sanad yang shahih).
Aku berkata (Al Albani), di dalam atsar ini, Ibrahim berkata dari Ibnu Mas’ud. Maka berarti ia telah menerimanya dari jalan yang banyak. Dan mereka adalah para shahabat Ibnu Mas’ud. Maka --ketika itu-- jiwa pun menjadi tenang dengan hadits mereka karena mereka banyak. Walaupun mereka tidak diketahui karena mayoritas para tabi’in adalah jujur. Dan khususnya shahabat-shahabat Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Salim bin Abul Ja’d, ia berkata :
“Janganlah kalian membuat mihrab-mihrab di dalam masjid-masjid.”
Dan sanadnya adalah shahih. Kemudian beliau (Ibnu Abi Syaibah) meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Musa bin Ubaidah ia berkata :
“Aku melihat masjid Abu Dzaar maka aku tidak melihat di situ ada mihrab.”
Dan dari Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan atsar-atsar yang banyak dari para Salaf tentang makruhnya membuat mihrab di dalam masjid. Dan yang kita nukil di sini kiranya sudah cukup.
Adapun pernyataan Al Kautsari dalam ucapannya di dalam risalah Imam Suyuthi tadi (halaman 18) yaitu bahwasanya mihrab adalah memang ada di masjid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maka pendapat itu menyelisihi atsar-atsar yang pasti bagi orang yang menelitinya bahwa mihrab adalah bid’ah. Oleh karena itu sudah tentu pernyataannya itu menentang pernyataan para pakar hadits sebagaimana yang telah lalu. Pegangannya dalam masalah tersebut adalah hadits yang tidak shahih. Maka kita harus membicarakannya dengan tujuan membongkar syubhat-syubhat (kerancuan-kerancuan) yang dilancarkan oleh Al Kautsari. Dan itu adalah hadits Wa’il bin Hujr :
“Aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika bangkit menuju masjid maka beliau masuk ke mihrab Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.”
Saya (Al Albani) menyatakan, hadits ini adalah dlaif. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi 2/30 dari Muhammad bin Hujr Al Hadhrami bahwa kami telah diberitahu oleh Sa’id bin Abdil Jabbar bin Wail dan ada tambahan baginya. Diriwayatkan pula oleh Thabrani dalam Al Kabir sebagaimana dalam Al Majma 1/232, 2/134-135 dan beliau berkata : “Di dalamnya ada Sa’id bin Abdul Jabbar.” An Nasa’i berkata bahwa dia laisa bi qawi (tidak kuat hafalannya).
Ibnu Hibban menyebut dalam Ats Tsiqat : “Muhammad bin Hujr adalah dlaif (lemah).” Dan beliau berkata di dalam tempat yang lain : “Di dalamnya ada Muhammad bin Hujr.” Imam Bukhari berkata : “Padanya ada sebagian kritikan.” Imam Dzahabi berkata : “Hadits-haditsnya mungkar.”
Aku berkata (Al Albani), At Turkamani berkata seperti itu di dalam Al Jauhar An Naqi’ dan menambahkan : “Dan ibunya Abdul Jabbar adalah Ummu Yahya, aku tidak mengetahui keadaannya (asal-usulnya) dan tidak tahu siapa namanya.”
Maka jelas dari ucapan para ulama di sini bahwa dalam sanad ini ada 3 ‘illat (penyakit/cacat) yaitu pada :
1.
Muhammad bin Hujr
2.
Sa’id bin Abdul Jabbar
3.
Ibunya Abdul Jabbar
Dengan demikian sebagian dari talbis (pengkaburan) yang dilakukan oleh Al Kautsari adalah ia pura-pura diam dari dua ‘illat yang pertama tadi. Dan berusaha menimbulkan keraguan di kalangan pembaca bahwa hadits tersebut tidak ada ‘illatnya kecuali yang ketiga (yaitu ibunya Abdul Jabbar). Dan bersamaan dengan itu ia membela dengan ucapannya : “Tidak menyebutkan ibunya si Abdul Jabbar bisa mengakibatkan bahaya. Karena ia tidak menyendiri dari jumhur para rawi wanita. Adz Dzahabi berkata tentang mereka : ‘Dan aku tidak mengetahui pada wanita-wanita itu ada yang tertuduh dan juga yang meninggalkannya.’”
Aku (Al Albani) berkata, makna ucapan Adz Dzahabi tidaklah seperti itu karena hadits-hadits mereka (para wanita) adalah lemah. Akan tetapi kelemahannya tidaklah terlalu parah. Maka pembelaan Al Kautsari adalah lemah. Terlebih lagi setelah kita tunjukkan dua ‘illat tadi.
Ada juga yang lain memberi muqaddimah risalah (As Suyuthi) ini dan memberi ta’liq (komentar) yaitu Abdullah Muhammad As Shadiq Al Ghumari. Dia mengambil sikap di tengah-tengah (netral) dalam hadits ini walaupun ia menyetujui Al Kautsari dalam penghasanan hadits mihrab tadi. Dia menerangkan tentang kedlaifan hadits ini dan berkata (halaman 20) yang seakan-akan ia membantah Al Kautsari. Aku perhatikan secara pasti terhadap ucapannya :
“Dan yang benar bahwa hadits ini adalah dlaif disebabkan kemajhulan ibunya si Abdul Jabbar dan juga karena Muhammad bin Hujr bin Abdil Jabbar memiliki hadits-hadits yang mungkar sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz Dzahabi. Dan karena telah tetap kedlaifannya maka wajib mentakwilkannya dengan mentakwilkan mihrab yang di dalam hadits tersebut adalah mushalla (tempat shalat). Karena secara pasti telah terbukti bahwa masjid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak memiliki mihrab. Oleh karena itulah pengarang (As Suyuthi) dan Al Hafizh Adam As Sayyid As Samhudi menetapkan kebid’ahannya.”
Aku berkata, dan apa-apa yang disampaikan olehnya dengan pentakwilannya itulah yang dikehendaki dari hadits ini secara qath’i (pasti) karena telah tetap dengan adanya tambahan dari Al Bazzar yaitu tempat mihrab. Karena dia telah mengatakan bahwa mihrab memang tidak ada pada jaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Oleh sebab itulh rawi mentakwilkannya dengan tempat mihrab.
Dari sini jelas bagi pembaca yang adil tentang gugurnya pegangan Al Kautsari dengan hadits ini secara sanad dan makna. Maka tidak bermanfaat syahid (pendukung) yang disebutnya dari riwayat Abdul Muhaimin bin Abbas pada Thabrani dari hadits Sahl bin Sa’d radliyallahu 'anhu. Dan dalam hadits tersebut ada tambahan : “Maka ketika dibangun bagi beliau sebuah mihrab, beliau masuk ke sana … .”
Maka lafadz dibangun bagi beliau sebuah mihrab adalah munkar karena Abdul Muhaimin menyendiri dalam meriwayatkan lafadz ini. Dan selain itu juga dia telah didhaifkan bukan oleh seorang ulama Ahli Hadits saja sebagaimana perkiraan Al Kautsari. Dan keadaannya sebenarnya adalah lebih parah dari itu. Imam Bukhari mengomentari tentangnya dengan ucapannya : “Dia adalah munkarul hadits.” Dan Imam Nasa’i mengatakan tentangnya dengan : “Dia tidak tsiqah.”
Dengan begitu ia sangat parah kelemahannya, tidak bisa dijadikan syahid (pendukung) sebagaimana hal itu telah diterangkan dalam kitab-kitab Mushthalahul Hadits. Dan inipun kalau-kalau hadits tersebut lafadznya sesuai dengan lafadz hadits Wa’il. Maka bagaimana hal itu terjadi sedangkan keduanya tidak sesuai (lafadznya) sebagaimana yang telah saya terangkan tadi?
Adapun penghasanan Al Kautsari dan yang selainnya terhadap hadits mihrab ini dengan alasan di dalamnya ada Maslahatul Mursalah yaitu sebagai tanda kiblat maka alasan seperti ini adalah lemah ditinjau dari beberapa segi :
Pertama : Bahwa mayoritas masjid sudah ada mimbarnya. Dan ini sudah cukup sebagai tanda. Maka ketika itu tidak perlu lagi bagi kita untuk membuat mihrab di dalamnya (masjid). Dan seharusnya itulah yang harus disepakati antara dua perselisihan dalam masalah ini kalau saja mereka mau melakukan inshaf (keadilan)! Dan tidak perlu lagi mereka berusaha mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan orang banyak dengan maksud untuk mencari keridhaan mereka (karena keridhaan orang banyak adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai, pent.)!
Kedua : Bahwa yang disyariatkan karena keperluan dan maslahat. Maka seharusnya seseorang itu berhenti bila hal itu telah terpenuhi dan tidak menambahnya lagi. Jika tujuan mihrab di masjid adalah hanya sebagai arah kiblat saja maka itu sudah cukup dengan mihrab yang kecil yang dilekuk sedikit saja. Akan tetapi kita lihat mayoritas mihrab-mihrab yang ada di masjid-masjid adalah besar-besar dan luas serta lebar sampai-sampai imamnya sampai tertutup di situ dan tidak tampak (oleh makmum). Akhirnya, mihrab-mihrab tersebut menjadi sebagai hiasan saja dan diberi ukiran-ukiran yang akibatnya juga adalah melalaikan kekhusukan orang yang shalat dan mengalihkan perhatian mereka dalam shalat mereka dan berakibat mereka sibuk memikirkannya dan hal itu adalah terlarang secara qath’i (pasti).
Ketiga : Bahwa bila sudah jelas bahwa mihrab adalah adat kebiasaan orang kristen di dalam gereja-gereja maka ketika itu haruslah meninggalkan mihrab secara keseluruhan. Dan menukarnya dengan yang lain yang dibolehkan menurut syariat seperti meletakkan tiang ditempat imam karena ini ada asalnya dari sunnah. Imam Ath Thabari mengeluarkan dalam Al Kabir 1/89/2 dari dua jalan yaitu dari Abdullah bin Musa At Taimi, dari Usamah bin Zaid, dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib, dari Jabir bin Usamah Al Juhaini, ia mengatakan :
Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya di pasar maka aku bertanya kepada mereka : “Mau ke mana beliau?” Mereka menjawab : “Menggaris/memberi tanda untuk masjid kaummu!” Maka akupun pulang kembali. Ternyata di sana ada satu kaum yang sedang bekerja. Aku bertanya kepada mereka : “Ada apa?” Mereka menjawab : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membuat garis untuk masjid kita. Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menancapkan kayu di arah kiblat dan menegakkannya di situ.”
Saya (Al Albani) mengatakan, sanad hadits ini hasan, semua rawi-rawinya adalah tsiqat dan ma’ruf (dikenal) dalam rijalnya At Tahdzib. Tapi luput nama salah seorang mereka dari Al Haitsami dalam Al Mujma’ 2/15. Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Ausath dan Al Kabir : “Dan di dalam hadits tersebut ada seseorang yang bernama Mu’awiyah bin Abdullah bin Habib sedangkan aku tidak mendapatkan biografi tentangnya.” Dia adalah Mu’adz bukan Mu’awiyah. Dan Ibnu Khubaib bukan Habib. Berdasarkan pembenaran yang diriwayatkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 1/220 dari riwayat Bukhari dalam Tarikh-nya dan juga oleh Ibnu Abi Ashim dan Ath Thabrani. Dan pembenaran ini luput dari penta’liq (komentator) risalah Imam As Suyuthi yaitu Al Ghumari. Ia (Al Ghumari) menukil ucapan Al Haitsami dalam penulisan hadits Mu’awiyah bin Abdullah dan ia malah menyetujuinya.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa mihrab dalam masjid adalah bid’ah. Dan tidak dibenarkan membuatnya dengan maksud untuk kemaslahatan selama hal-hal yang disyariatkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam selainnya dapat menggantikan maksud itu dengan mudah dan jauh dari sifat menghias-hiasi masjid. (Silsilah Al Ahadits Adh Dhaifah wal Maudhu’ah 1/639-697 hadits nomor 448-449)
Keterangan Dari Ulama Ahlus Sunnah
Sekian penjelasan dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, sekarang kita beralih kepada pernyataan Syaikh Abu Bakar Ath Thurtusi yang mana beliau mengatakan di dalam kitabnya Al Hawadits wal Bida’ dengan ta’liq dan tahqiq dari Syaikh Ali Hasan halaman 103 beliau mengatakan : “Dan termasuk bid’ah-bid’ah yang terjadi di dalam masjid adalah adanya mihrab-mihrab.”
Abdur Razzak meriwayatkan dalam Mushannaf-nya nomor 3901, ia mengatakan di sana, Al Hasan datang kepada Tsabit Al Bannani dengan tujuan ingin berziarah kepadanya maka ketika waktu shalat telah masuk ia mengatakan kepada Al Hasan : “Majulah engkau (untuk menjadi imam, pent.) wahai Abu Sa’id (kunyah bagi Al Hasan, pent.).” Maka Al Hasan mengatakan : “Bahkan engkaulah yang maju ke depan, wahai Tsabit!” Maka Tsabit mengatakan lagi : “Demi Allah, aku tidak mau mendahuluimu selama-lamanya!” Maka majulah Al Hasan, akan tetapi ia menghindar dari mihrab (yaitu tidak mau shalat di tempat itu). Adh Dhahhak bin Muzahim mengatakan : “Yang pertama mengarah kepada syirik pada orang-orang yang shalat adalah mihrab-mihrab ini!” (Riwayat Abdurrazzaq 3902)
Yang mau shalat di mihrab adalah Sa’id bin Jubair dan Ma’mar. (Kita berbaik sangka, barangkali belum datang kepada mereka dalil-dalilnya). Tapi ada pula ulama (tabi’in) yang tidak mau shalat di mihrab seperti An Nakha’i, Sufyan Ats Tsauri, dan Ibrahim At Taimi (dan ditambah dengan yang diterangkan oleh Syaikh Al Albani tadi, pent.)
DR. Muhammad Al Qasimi mengatakan bahwa Imam Jalaluddin As Suyuthi memiliki sebuah risalah berbentuk tulisan tangan yang berjudul I’lamul Aryab bi Hudutsi Bid’atil Maharib, beliau mengatakan dalam risalahnya tadi : “Ini adalah sebuah bagian yang aku namakan dengan I’lamul Arub bi Hudutsi Bid’atil Maharib karena ada sebuah kaum yang luput dari pengetahuan mereka bahwa mihrab di dalam masjid adalah bid’ah. Dan mereka mengira bahwa mihrab itu memang ada di masjid Nabi di masa beliau. Padahal sama sekali di masanya tidak ada mihrab. Juga tidak di masa para Khalifah yang empat serta orang-orang yang setelah mereka sampai 100 tahun pertama. Akan tetapi apakah mihrab boleh di masa kita ini? Jawabannya adalah tidak! Bahkan merupakan salah satu dari bid’ah-bid’ah yang begitu banyak terjadi. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak membuat mihrab di masjid beliau dan juga tidak dilakukan di masa para shahabat sesudah beliau. Ini hanya terjadi setelah berlalunya generasi terbaik dari umat ini.” (Al Masajid Bainal Ittiba’ alal Ibtida’ halaman 51)
Ada juga kita dengar alasan dari orang-orang yang masih menolak kekuatan hujjah ini dengan alasan bahwa Maryam juga berada di dalam mihrab? Bukankah ada dalam istilah ushul fiqh syara’a man qablana (syariat orang sebelum kita)? Maka kepada orang ini kita jawab : “Memang benar di dalam ushul fiqh ada istilah tersebut seperti puasa misalnya. Akan tetapi di sini harus kita luruskan dulu tentang siapa yang berhak membuat syariat itu atau dengan istilah haq at tasyri’ (hak pembuat syariat). Bukankah Allah dan Rasul-Nya? Allah berfirman dalam Al Qur’an dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berbicara dengan hadits. As Sunnah adalah sebagai penafsir terhadap Al Qur’an. Hal ini bisa kita simak dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah oleh Imam Al Laalikai juz 1, Al Aqidah Al Washitiyah, Syarhus Sunnah, As Sunnah atau yang lain. Bagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mencontohkannya? Apakah beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membuat mihrab di masjidnya? Dari riwayat yang lalu bisa diambil keterangan bahwa masjid beliau tidak memiliki mihrab. Dan bukankah juga telah dinyatakan tadi bahwa mihrab-mihrab itu merupakan perbuatan tasyabbuh (meniru) kaum nashrani terhadap gereja-gereja mereka. Apakah kita ingin bertasyabbuh kepada kaum nashara? Sedangkan bertasyabbuh kepada mereka mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta kepada mereka sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya Iqtidha’ Shirathal Mustaqim Mukhalafah Ashhabul Jahiim. Apakah kita cinta kepada mereka? Tentu tidak, wahai saudaraku.”
Nah, sekarang apa lagi yang bisa kita bantah. Bahkan kita juga telah lihat sendiri bagaimana para shahabat mengambil sikap dalam masalah ini. Dan kita tentu menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat dalam kesalahan. Mereka merupakan alumnus Madrasah Nabawiyah. Yang kemudian mereka mewariskan ilmu itu kepada murid-muridnya yaitu para tabi’in. Dan seterusnya … .
Demikianlah, semoga kita dapat mengambil pelajaran dari keterangan-keterangan di atas. Dan jika kita ingin memperluas pembahasan ini, silakan membaca risalah Imam As Suyuthi yaitu I’lamul Arib bi Hudutsi Bid’atil Mahariib. Kita meminta kepada Allah agar senantiasa menetapkan hati-hati kita di atas jalan-Nya yang lurus. Amin. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Maraji’ :
1.
Silsilah Al Ahadits Adh Dha’ifah wal Maudhu’ah oleh Syaikh Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al Albani.
2.
Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsari.
3.
Iqtidha’ Shirathal Mustaqim oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
4.
Al Aqidah Al Wasithiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
5.
Al Hawadits wal Bida’ oleh Imam Abu Bakar Ath Thurtusi, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
6.
Al Masajid Bainal Ittiba’ wal Ibtida’ oleh DR. Muhammad Al Qamisi.
7.
Shifat Shalat Nabi oleh Syaikh Al Albani.
8.
Ilmu Ushul Fiqh oleh Abdul Wahhab Khalaf Al Matridi.
9.
As Sunnah oleh Imam Al Laalikai.


Read more

Monday, February 27, 2012

LUQOTOH ( Barang Temuan )


  1. PENGERTIAN
Luqotoh yaitu setiap harta yang terlepas dan hilang serta tidak diketahui pemiliknya. Banyak digunakan untuk istilah selain hewan, karena untuk hewan ada penamaan sendiri yaitu dholah.
  1. HUKUM MENGAMBILNYA
1.  Lebih utama, jika terpercaya, sanggup mengumumkannya dan mau berusaha mencari pemiliknya. Karena bisa menjaga barang orang lain dari kehilangan dan bisa menghindarkan dari perbuatan orang lainnya yang berniat jahat. (madzhab Abu Hanifah & juga pendapat Imam Syafi’i)
Read more

GERAKAN DALAM SHALAT


MUQQADDIMAH
Sesungguhnya shalat memiliki kedudukan yang sangat agung dan tinggi di dalam Islam dan memiliki peran yang fital dalam pembentukan pribadi pemeluknya. Akan tetapi dalam perjalanan waktu yang semakin jauh dari masa Rasulullah dan para sahabatnya, kaum muslimin kurang memperhatikannya. Banyak di antara mereka yang mengerjakannya dengan semaunya sampai berani meninggalkannya dengan sengaja, baik karena malas, meremehkan ataupun kerena syubhat yang menimpa mereka.
Kenapa hal ini bisa terjadi pada diri mereka? Apakah mereka tidak mengetahui keutamaan shalat, hukumnya dan hukum meninggalkannya?
Dalam kesempatan ini, kami berusaha membahas gerakan dalam shalat dengan berlandaskan kepada al-Qur’an, al-Hadits dan perkataan para ulama, sehingga masalah ini jelas bagi kita seperti jelasnya purnama di malam yang tiada berawan. Mengingat shalat adalah amal pertama kali yang akan dihisab pada diri seorang hamba, baik ketika di alam kuburnya maupun ketika dipertemukan dengan Tuhannya, bila shalatnya itu baik maka baiklah semua amalnya, namun bila shalatnya rusak maka rusaklah semua amalnya.
Read more

AL QOMAH BIN QOIS AN NAKHO'I


Al Qomah bin Qois adalah seorang faqih besar. Paman Al Aswad bin Yazid, sudara laki-laki (dari ibu) Ibrahim An Nakho'i. Ia lahir pada saat nabi shalallahu 'alaihi wasallam masih hidup. Ia belajar Al Qur'an dari Ibnu Mas'ud, juga mendengar dari Ali, Umar, Abu Darda dan Aisyah.
          Ibrahim bin Yazid An Nakho'i mengutip bacaan darinya, juga  Abu Ishaq As Sabi'i serta yang lainnya. Karena ia (Al Qomah) adalah seorang yang suaranya bagus dalam membaca Al Qur'an.
Read more

AL AHNAF BIN QOIS


Ketika itu kota Damaskus sedang tersenyum manis menyambut datangnya musim semi. Berbangga dengan kesuburan tanah dan taman-tamannya yang indah dan bersemi.
Hari itu Amirul Mukminin Muawiyah bin Abi Sufyan sedang siap menerima para utusan di istana. Ketika kesempatan pertama dibuka, Ummul Hakam binti Abi Sufyan segera menmpati tempat duduknya dibalik tabir. Dari situ ia bisa mendengar pembicaraan-pembicaraan dalam majlis kakaknya tentang hadits-hadits Nabi n. dia mengisi dirinya dengan apa-apa yang didengarnya dari penasehat istana, laporan tentang berbagai hal, berita yang aneh-aneh, syair-syair yang indah atau hikamh-hikmah yang luhur.
Putri bangsawan ini sangat cerdas dan bersemangat untuk mencapai ketinggian. Sementara kakaknya menerima orang-orang yang menghadap berdasarkan kedudukannya. Sahabat-sahabat Rasulullah n selalu didahulukan dari yang lain, baru kemudian menyusul tokoh-tokoh Tabi'in, para ulama` dan kalangan bangsawan.
Tidak seperti biasanya, Ummul Hakam mendapati bahwa tamu pertama kakaknya membawa suasana agak tegang dan terasa menggetarkan. Dia mendengar kakaknya berkata, "Demi Allah, wahai Ahnaf setiap aku ingat perang Shiffin dan betapa Anda memihak kepada Ali bin Abi Thalib kemudian meninggalkan kami, rasa kesal dihatiku tidak akan bisa terobati.
Read more

ABDURRAHMAN BIN ‘AUF


Orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafkahkan dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan tidak pula menyakiti (perasaan penerima), niscaya mereka akan peroleh pahala disisi Tuhan mereka. Mereka tidak merasa takut dan tidak pula berduka cita... (Q.S. 2 Al-Baqarah : 262).

Pada suatu hari setelah wafatnya Rasulullah r, kota Madinah sedang aman dan tentram, tiba-tiba dari arah pinggir kota terlihat debu tebal yang mengepul ke udara, semakin lama gumpalan debu semakin tinggi menutup pemandangan. Angin yang bertiup menyebabkan gumpalan debu kuning dari butiran-butiran sahara yang lunak, terbawa menghampiri pintu-pintu kota, banyak yang menyangka ada angin ribut yang menyapu dan menerbangkan pasir. Namun dari balik tirai debu segera terdengar hiruk pikuk yang menandakan tibanya kafilah besar perniagaan. Tidak lama kemudian sampailah 700 kendaraan yang sarat dengan muatannya, memenuhi jalan-jalan Madinah dan menyibukkan penduduknya. Mereka saling memanggil untuk menyaksikan datangnya rizqi yang dibawa kafilah itu. Melihat tingkat kesibukan masyarakat yang sangat tinggi diluar kebiasaannya Ummul Mukminin ‘Aisyah t bertanya : “Apa yang telah terjadi di kota Madinah...?” Mendapat jawaban, bahwa kafilah ‘Abdurrahman bin ‘Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagangannya. Ummul Mukminin t berkata : “Kafilah yang telah menyebabkan semua kesibukan ini?” “Benar, ya Ummul Mukminin
Read more

Abdullah bin Al-Mubarak


Abdullah bin Al-Mubarak, seorang tabiien yang sangat terkenal dengan sifat kedermawaannya. Meskipun beliua termasuk orang yang cukup mampu, namum beliu sangat mengerti bagaimana cara mepergunakan hartanya di jalan diridhoi oleh-Nya.
Beliau (Ibnul Mubarak) biasa pulang pergi ke Tharasusu dan biasanya saat di tengah perjalanan bila hari telah menjelang malam, beliau segera singgah beristirahat di sebuah penginapan. Di penginapan itu, ada seorang pelayan muda biasa mengurus kebutuhannya. Dan yang lebih menarik perhatian Ibnul Mubarak adalah bahwa pemuda itu ditengah pekerjaan melayani dirinya, juga sangat rajin belajar hadits dengannya. Semangat belajarnya sangat tinggi. Pekerjaanya sebagai pelayan tidak menghalangi untuk terus dan terus memepelajari hadits.
Read more

Wednesday, February 15, 2012

mu'tazilah


1.          Definisi

Secara Bahasa :
Kata Mu'tazilah berasal dari kata 'azala–ya'taziluhu 'azlan wa'azalahu fa'tazala wa-in'azala wa-ta'azzala yang artinya menyingkir atau memisahkan diri.[1]
Secara Istilah :
Mu'tazilah berarti sebuah sekte sempalan yang mempunyai lima pokok keyakinan (al ushul  al-khamsah), meyakini dirinya merupakan kelompok moderat  di antara dua kelompok ekstrim yaitu Murji’ah yang menganggap pelaku dosa besar tetap sempurna imannya dan Khawarij yang menganggap pelaku dosa besar telah kafir.[2]

 



2.    Awal Kelahiran dan Penamaan Mu’tazilah


Di kalangan para peniliti terjadi perbedaan pendapat yang cukup mencolok mengenai asal usul penamaan Mu’tazilah. Penyebabnya adalah penamaan tersebut erat kaitannya dengan berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di dunia Islam pada masa kelahiran gerakan ini. Pendapat-pendapat tersebut di antaranya:
(1).  Sebagian pihak menyatakan penamaan Mu’tazilah berasal dari lawan mereka yaitu Ahlus Sunah wal Jama’ah.
(2).    Sebagian pihak lain menyatakan nama Mu’tazilah berasal dari diri mereka sendiri.
(3).   Sebagian pihak menyatakan Mu’tazilah lahir dengan adanya i’tizal siyasi (pengasingan diri dari dunia politik) pada masa awal fitnah (masa kekhilafahan Ali). Sebagian peneliti lain menyatakan Mu’tazilah lahir karena sebab-sebab lain.[3]
Mayoritas peneliti yang menyatakan penamaan Mu’tazilah berasal dari Ahlus Sunah wal Jama’ah mengaitkan penamaan tersebut dengan perdebatan mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hasan Al Bashri dan Washil bin Atha’ (80 H-131 H) yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik Al Umawy.
Imam Hasan Al Bashri mempunyai majelis pengajian di masjid Bashrah. Pada suatu hari seorang laki-laki masuk ke dalam pengajian imam Hasan Al Bashri dan bertanya," Wahai imam, di zaman kita ini  telah timbul kelompok yang mengkafirkan para pelaku dosa besar yaitu kalangan Wa'idiyah Khawarij dan juga timbul kelompok lain yang mengatakan maksiat tidak membahayakan iman sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat sama sekali bila bersama kekafiran yaitu kelompok Murji'ah. Bagaimana sikap kita?" Imam Hasan Al Bashri terdiam memikirkan jawabannya, saat itulah murid beliau yang bernama Washil menyela," Saya tidak mengatakan pelaku dosa besar itu mukmin secara mutlak dan tidak pula kafir secara mutlak, namun dia berada di satu posisi di antara dua posisi, tidak mukmin dan tidak pula kafir." Jawaban ini tidak sesuai dengan ayat-ayat Al Qur'an dan As Sunah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin namun imannya berkurang. Tentu saja Imam Hasan Al Bashri membantah jawaban Washil yang tak berlandaskan dalil tadi. Washil kemudian pergi ke salah satu sudut masjid, maka imam Hasan Al Bahsri berkata," Ia telah memisahkan diri dari kita  (I’tazalnaa)." Sejak saat itu ia dan orang-orang yang mengikutinya di sebut Mu'tazilah, artinya kelompok yang memisahkan diri (menyempal).[4]

Mayoritas peneliti menyatakan pendapat mereka yang menyelisihi Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam masalah hukum pelaku dosa besar inilah yang menyebabkan mereka dikenal sebagai sekte Mu’tazilah. Al Baghdadi menambahkan satu sebab lagi, yaitu pendapat mereka yang menyelisihi Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam masalah taqdir.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya, sekte Mu’tazilah mempunyai banyak nama, baik penamaan dari mereka sendiri maupun dari pihak luar. Nama-nama tersebut adalah:
q             Mu'tazilah, berawal dari penamaan imam Hasan Al Bashri terhadap Washil bin Atha' seperti yang telah disebutkan di awal tadi.
Read more